-->

Friday 11 December 2015

MITACINTI JATAKA

MITACINTI JATAKA


Kisah ini diceritakan oleh Bhagava ketika berada di Jetawana, mengenai dua orang bhikkhu senior yang telah tua. Setelah menghabiskan masa wassa di hutan dekat sebuah desa, mereka memutuskan untuk menemui Bhagava, dan mengumpulkan perbekalan untuk perjalanan mereka. Namun mereka terus menunda keberangkatan mereka hari demi hari, hingga sebulan telah berlalu.

Kemudian mereka menyiapkan bekal yang baru, dan menunda- nunda lagi hingga bulan kedua berlalu, dan bulan ketiga. Ketika kelambanan dan kemalasan mereka telah membuat mereka kehilangan waktu sebanyak tiga bulan, mereka memulai perjalanan dan tiba di Jetawana. Setelah meletakkan patta dan jubah mereka di tempatnya, mereka menemui Bhagava. Para bhikkhu yang melihat lamanya waktu setelah kunjungan terakhir mereka untuk menemui Bhagava, menanyakan alasannya. Kemudian mereka menceritakan kejadian tersebut dan semua bhikkhu menjadi tahu tentang kemalasan bhikkhu- bhikkhu yang lamban ini.


Berkumpul bersama di Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan hal ini. Bhagava masuk ke dalam balai tersebut dan diberitahukan mengenai apa yang sedang mereka bicarakan. Ketika ditanya apakah mereka benar-benar begitu lamban, mereka mengakui kelemahan mereka. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “di kehidupan yang lampau, tidak beda dari sekarang, mereka adalah orang yang lamban dan malas untuk meninggalkan kediaman mereka.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, di sebuah sungai terdapat tiga ekor ikan, yang bernama Bahucintī (Terlalu Bijaksana), Appacintī (Bijaksana), dan Mitacintī (Tidak Bijaksana). Mereka menuruni sungai dari alam bebas menuju ke tempat hunian manusia.

Di sini, Appacintī berkata kepada kedua ekor ikan lainnya, “Ini adalah lingkungan yang berbahaya dan tidak aman, tempat para nelayan menangkap ikan dengan menggunakan jaring, perangkap berupa keranjang, maupun alat lainnya. Mari kita kembali ke alam bebas lagi.”

Namun kedua ikan itu terlalu malas, dan terlalu serakah, sehingga mereka terus menerus menunda kepergian mereka dari hari ke hari, hingga akhirnya tiga bulan telah berlalu. Saat itu para nelayan melemparkan jaring ke sungai, Bahucintī dan Mitacintī sedang berenang untuk mencari makanan saat dengan bodohnya mereka secara membabi buta menyerbu masuk ke dalam jaring. Appacintī, yang berada di belakang, sedang memperhatikan jaring tersebut, melihat nasib kedua ekor ikan itu.

“Saya harus menyelamatkan kedua pemalas yang bodoh itu dari kematian,” pikirnya. Mula- mula ia mengitari jaring tersebut, kemudian ia membuat percikan air di depan jala itu seperti ikan yang terlepas dari jaring dan kemudian lenyap di sungai, kemudian ia berputar ke belakang, memercikkan air di belakang jala, seperti ikan yang terlepas dari jaring dan ditelan arus. Melihat hal itu, para nelayan mengira ikan- ikan itu telah merusak jaring dan semuanya telah lari, maka mereka menarik jaring itu pada salah satu sudutnya dan kedua ikan itu pun terlepas dari jaring, kembali ke sungai yang bebas. Dengan cara tersebut mereka berhutang nyawa pada Appacintī.

Setelah menceritakan kisah tersebut, Bhagava sebagai seorang Buddha, mengucapkan syair berikut ini,

“Mereka berdua terperangkap di dalam jala nelayan,
Appacintī menyelamatkan mereka dan bebas kembali.”

Uraian tersebut berakhir, dan Empat Kebenaran Mulia telah dibabarkan olehNya, di akhir khotbah, bhikkhu- bhikkhu tua itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, Bhagava menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Kedua bhikkhu ini adalah Bahucintī dan Mitacintī, dan Saya adalah Appacintī.”

Sutta Pitaka, Khuddaka Nikaya, Jataka, Ekaka Nipata, Hamci Vagga, Mitacinti Jataka (Jat 114)

No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

close