-->

Wednesday 9 December 2015

KHETTUPAMAPETA VATTHU

KHETTUPAMAPETA VATTHU


Sang Buddha, yang berdiam di Tempat Memberi Makan Tupai, di Hutan Bambu di Rajagaha mengisahkan cerita mengenai peta yang dahulunya adalah putra seorang pedagang kaya.

Dikisahkan bahwa di Rajagaha ada seorang pedagang kaya raya yang memiliki kekayaan yang luar biasa besarnya. Harta bendanya amat banyak, sumber-sumber materinya melimpah, dan tak terhitung harta yang terkumpul, berkoti-koti banyaknya. Karena memiliki kekayaan yang demikian besar dia dikenal sebagai Mahadhanasetthi.

Anaknya hanya satu, dan putra tunggal ini amat disayangi dan dibanggakan. Ketika putranya mencapai usia akil balik, orang tuanya berpikir, 'Seandainya putra kita membelanjakan seribu keping setiap hari bahkan selama seratus tahun pun, kekayaan yang terkumpul ini tidak akan habis. Maka biarlah dia menikmati harta benda ini sesukanya.


Tak perlu dia menanggung beban bersusah payah lewat tubuh dan pikiran karena harus mempelajari suatu keterampilan.' Maka putranya ini tidak disuruh mempelajari keterampilan apapun.

Ketika dia sudah dewasa, orang tuanya mencarikan istri dari keluarga baik-baik yang masih muda, cantik dan mempesona. Namun gadis yang menggiurkan ini mengabaikan hal-hal spiritual.

Ketika dimabuk kenikmatan cinta dengan istrinya, laki-laki muda ini sekilas pun tidak mempunyai minat pada Dhamma dan tidak memiliki rasa hormat terhadap para petapa dan brahmana serta orang-orang yang pantas dihormati.

Dan karena dikelilingi oleh orang-orang jahat, dia bergembira dan bergelimang di dalam kenikmatan-kenikmatan lima indera. Di dalam kebodohannya, secara membuta dia terus mengejar kesenangan-kesenangan indera. Demikianlah dia menghabiskan waktunya.

Setelah kedua orang tuanya meninggal, dia menghamburkan kekayaannya sepuas hati pada para penyanyi dan penari dan sebagainya. Tidak lama kemudian kekayaannya habis. Namun dia masih dapat bertahan hidup setelah memperoleh pinjaman.

Ketika tidak ada lagi yang mau memberikan pinjaman dan dia dikejar-kejar oleh para kreditornya, maka tanahnya yang subur, rumahnya dan sebagainya pun berpindah tangan. Dia pun terpaksa tinggal di bangsal kota yang dibangun untuk fakir miskin. Dia makan apa yang diperolehnya setelah berkelana mengemis dengan mangkuk di tangan.

Pada suatu hari, beberapa perampok yang berkumpul berkata kepadanya, "Wahai, kawan, mengapa kamu hidup susah? Kamu masih muda, kuat, gesit dan punya kekuasaan. Mengapa berperilaku seolah-olah tidak punya tangan dan kaki? Ayo, mencurilah bersama kami. Nanti kamu akan bisa memperoleh kekayaan orang dan bisa hidup enak.'

'Aku tidak tahu bagaimana caranya mencuri,' jawabnya.

'Kami akan melatihmu. Lakukan saja segala yang kami katakan,' kata para perampok itu.

'Baiklah,' dia menyetujui dan pergi bersama mereka.

Para perampok itu kemudian memberinya tongkat besar dan mereka membobol sebuah rumah. Ketika akan masuk, mereka menyuruh dia berjaga-jaga di mulut lorong.

'Jika ada orang lain yang datang ke sini, bunuhlah dia dengan sekali pukul memakai tongkat ini.'

Buta karena ketololan dan ketidaktahuan tentang apa yang baik atau buruk baginya, dia berdiri di situ, melihat ke sana kemari kalau-kalau ada orang yang datang, sementara para perampok memasuki rumah dan mengambil segala yang dapat diambil.

Begitu keberadaan mereka ketahuan, para perampok itu pun segera lari lintang pukang ke segala arah.

Para penghuni rumah yang terbangun cepat mengejar sambil menengok ke sana kemari ke segala arah. Mereka melihat laki-laki yang berdiri di pintu masuk para perampok.

'Itu dia, perampok jahat itu!' teriak mereka.

Maka laki-laki itu pun ditangkap dan dipukuli dengan tongkat dan sebagainya pada tangan dan kakinya. Lalu dia dibawa ke hadapan raja.

'Paduka raja, inilah perampok yang tertangkap di mulut lorong,' kata mereka.

'Penggal kepalanya!' kata penjaga-kota.

Laki-laki itu lalu ditangkap. Tangannya diikat di balik punggung. Lehernya dikalungi rangkaian bunga kanavira merah, dan kepalanya diolesi bubuk bata. Lalu dia dicambuki sambil digiring menuju tempat eksekusi. Di sepanjang jalan, genderang hukuman mati terus dipukul. Dia berjalan dari satu jalan ke jalan lain, dari satu persimpangan ke persimpangan lain, sambil diiringi teriakan, 'Inilah perampok yang menjarah dan telah tertangkap di kota ini.'

Kebetulan pada saat itu ada pelacur kota bernama Sulasa yang sedang berdiri di istana. Ketika melihat keluar melalui jendela kisi-kisi, dia melihat laki-laki itu digiring sedemikian. Karena telah mengenalnya di masa lalu, muncul belas kasihan di dalam diri wanita itu. Dia berpikir, 'Dahulu laki-laki ini luar biasa kaya raya di kota ini, tetapi sekarang dia mengalami nasib buruk sampai seperti ini. Sungguh amat menyedihkan dan menyiksa.'

Maka pelacur itu mengirimkan empat manisan serta air, dan menyuruh seseorang menyampaikannya kepada penjaga-kota, 'Saya mohon tuan yang terhormat mau berhenti sampai laki-laki ini makan manisan dan minum air ini.'

Selama mereka beristirahat, Y.M. Maha Moggallana melihat kesedihannya ketika beliau mengamati dunia dengan mata batinnya. Hatinya tergerak karena welas asihnya dan beliau berpikir 'Laki-laki ini belum melakukan perbuatan-perbuatan yang berjasa, dia hanya melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat.

Akibatnya, dia akan muncul di neraka.

Tetapi jika aku pergi ke sana dan dia memberikan manisan dan air itu kepadaku, dia akan terlahir di antara para dewa bumi. Akan merupakan hal yang baik jika aku membantunya.'

Maka beliau pun muncul di hadapan laki-laki itu ketika manisan dan air itu dibawa kepadanya. Ketika melihat petapa Thera itu, laki-laki itu berpikir dengan rasa bakti di hatinya,

'Apa gunanya manisan ini bagi orang yang akan dibunuh? Sebaliknya, manisan ini akan menjadi bekal bagi orang yang akan menuju ke dunia lain.'

Maka dia menyuruh agar manisan dan air itu diberikan kepada Maha Moggallana Thera. Untuk meningkatkan rasa bakti laki-laki itu, Sang Thera lalu duduk di suatu tempat yang dapat dilihat untuk makan manisan dan minum air itu. Kemudian beliau bangkit dan pergi. Laki-laki itu digiring algojo lagi menuju tempat hukuman mati dan dipenggal kepalanya.

Sebenarnya, dia pantas terlahir di devaloka yang lebih tinggi sebagai hasil dari perbuatan jasa yang dilakukannya dengan rasa hormat kepada Maha Moggallana Thera, yang merupakan ladang jasa yang tiada bandingnya.

Namun karena dia berpikir, 'Aku berhutang budi pada Sulasa yang menyebabkan aku memperolah persembahan jasa ini', pikirannya pada saat kematiannya dipenuhi oleh rasa cinta yang ditujukan pada Sulasa. Oleh karena itu dia muncul di tingkat yang lebih rendah, yaitu sebagai dewa-pohon di pohon beringin yang besar di antara keteduhan pepohonan rimbun di gunung.

Dikatakan, bahwa seandainya saja di masa mudanya laki-laki itu sudah bekerja keras dan melanjutkan garis keluarganya, dia akan menjadi orang paling terkemuka di antara para pedagang kaya di kota itu, sedangkan seandainya dia bekerja keras pada waktu tengah-baya, dia akan memiliki status menengah. Dan seandainya dia bekerja di hari tuanya, dia akan memiliki status terendah.

Tetapi seandainya saja di masa mudanya dia telah meninggalkan keduniawian, dia akan menjadi seorang arahat, sedangkan jika dia meninggalkan keduniawian di tengah-baya, dia akan menjadi Yang tidak kembali lagi atau Yang kembali sekali lagi. Dan seandainya dia meninggalkan keduniawian di usia tua, dia akan menjadi sotapanna.

Namun dikatakan bahwa akibat pergaulannya dengan teman-teman yang jahat, dia menjadi tidak terhormat, berperilaku buruk, suka berpesta pora dengan para wanita dan minum-minum, sehingga akhirnya dia menghamburkan semua harta kekayaannya dan jatuh pada penderitaan yang besar itu.

Beberapa waktu kemudian, dia melihat Sulasa yang pergi ke taman.

Karena nafsu birahi dan keinginan yang besar, dewa itu lalu menimbulkan kebutaan pada Sulasa dan membawa Sulasa ke alamnya. Setelah hidup secara intim dengan Sulasa selama tujuh hari, dewa itu kemudian berterus terang tentang identitasnya.

Sementara itu, ibu Sulasa, yang tidak dapat melihat anaknya, pergi ke sana ke mari sambil menangis. Orang-orang yang melihatnya berkata, 'Y.M. Maha Moggallana memiliki kemampuan batin yang luar biasa. Beliau pasti tahu di mana Sulasa berada. Pergilah ke sana untuk bertanya.' 'Baik, sahabat'.

Si ibu lalu menghadap Sang Thera dan menanyakan hal itu.

Sang Thera berkata, 'Tujuh hari dari sekarang, kamu akan melihat Sulasa di pinggir kerumunan orang ketika Sang Buddha sedang mengajarkan Dhamma di Mahavihara di Hutan Bambu.'

Sulasa kemudian berkata kepada devaputta itu, 'Tidaklah pantas bila aku berdiam di alammu. Hari ini adalah hari ketujuh, dan ibuku yang tidak dapat melihatku sudah amat khawatir dan sedih. Bawalah aku kembali ke sana, dewa.'

Dewa itu lalu membawa kembali Sulasa ketika Sang Buddha sedang mengajarkan Dhamma di Hutan Bambu dan meletakkan Sulasa di tepi kerumunan orang, sedangkan dia berdiri tak terlihat di sampingnya.

Ketika melihat Sulasa, orang-orang berkata, 'Wahai Sulasa, kemana saja kamu selama berhari-hari? Karena kamu tidak kelihatan, ibumu merasa amat cemas dan sedih seperti orang kebingungan.'

Sulasa pun menceritakan kejadian itu kepada orang-orang itu dan mereka bertanya,

'Bagaimana laki-laki itu bisa muncul sebagai dewa, padahal yang dia lakukan hanyalah perbuatan-perbuatan jahat dan dia tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik?'

Sulasa menjawab, 'Dia memberi kepada Y.M. Mahamoggallana manisan dan air yang kuberikan kepadanya. Karena perbuatan jasa inilah dia muncul sebagai dewa.'

Ketika orang-orang mendengar hal ini, mereka merasa amat takjub dan heran.

Mereka merasakan suka-cita dan kepuasan yang amat tinggi karena berpikir, 'Para Arahat memang benar-benar merupakan ladang-jasa yang tiada bandingnya di dunia ini bahkan pelayanan yang paling kecil pun pada mereka dapat membuat para makhluk muncul sebagai dewa.'

Para bhikkhu mengajukan persoalan itu kepada Sang Buddha yang kemudian mengucapkan syair-syair ini karena munculnya suatu kebutuhan pada saat itu :

'Bagaikan ladang adalah para Arahat,
bagaikan pengolah adalah mereka yang memberi
bagaikan benih adalah persembahan jasa itu
dari inilah maka buah dihasilkan.

Benih, ladang dan pengolahan ini
diinginkan bagi para peta dan bagi orang yang memberi
para peta memanfaatkan ini,
sedangkan si pendana tumbuh melalui jasa itu.

Setelah melakukan di sini apa yang bermanfaat
dan setelah menghormati para peta,
setelah melakukan tindakan yang menjanjikan keberhasilan itu,
maka dia akan pergi menuju ke alam surga.'

Di akhir ajaran ini, muncullah pandangan terang ke dalam Dhamma pada 84.000 makhluk, yang bermula dari devaputta itu dan Sulasa.

Sutta Pitaka, Khuddaka Nikaya, Petavatthu, Uraga Vagga, Khettupamapeta Vatthu (Pv I. 1)

No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

close