-->

Monday 14 December 2015

ANGULIMALA SUTTA

ANGULIMALA SUTTA


Demikian yang telah Ku dengar,
Pada suatu ketika Sang Buddha berdiam di Vihara Jetavana miliki Anatha­pindika, dekat Kota Savatthi.
Pada waktu itu, di kerajaan Raja Pasenadi dari Kosala, ada seorang penjahat bernama Angulimala yang kejam, tangannya berlumuran darah, merampok dan membunuh manusia, dan tidak menaruh belas kasihan kepada makhluk hidup. Karena dia, desa-desa, kecamatan-kecamatan, dan kota-kota diporak-porandakan. Dia membunuh orang-orang dan membuat kalung dari jari orang-orang itu dan memakainya.


Pada waktu itu, pagi hari, Sang Buddha mengenakan jubah,membawa mangkuk, kemudian memasuki kota Savathi untuk melakukan pindapata. Setelah melakukan pindapata, beliau kembali ke Vihara. Sehabis makan, beliau membersihkan tempatnya dan berangkat lagi menuju jalan tempat Angulimala berada. Penggembala sapi, penggembala domba, dan pembajak sawah yang lewat melihat Sang Buddha berjalan ke arah Angulimala. Mereka berkata kepada Sang Buddha sebagai berikut: "Bhante, jangan pergi lewat jalan ini. Ada penjahat, tangannya berlumuran darah, dan dia merampok dan membunuh manusia, tidak menarus belas kasihan kepada makhluk-makhluk. Karena dia, desa-desa kecamatan-kecamatan, dan kota-kota diporak-porandakan. Dia membunuh orang-orang, kemudian membuat kalung dari jari manusia dan memakainya. Walaupun sepuluh orang, dua puluh orang, tiga puluh orang, atau empat puluh orang berjalan bersama-sama melalui jalan ini, akhirnya mereka jatuh ke tangan Angulimala.

Ketika kata-kata itu diucapkan, Sang Buddha berjalan dengan tenang.
Untuk Kedua kalinya penggembala sapi, penggembala domba, dan pembajak sawah yang lewat melihat Sang Buddha berjalan ke arah Angulimala. Mereka berkata kepada Sang Buddha sebagai berikut: "Bhante, jangan pergi lewat jalan ini. Ada penjahat, tangannya berlumuran darah, dan dia merampok dan membunuh manusia, tidak menarus belas kasihan kepada makhluk-makhluk. Karena dia, desa-desa kecamatan-kecamatan, dan kota-kota diporak-porandakan. Dia membunuh orang-orang, kemudian membuat kalung dari jari manusia dan memakainya. Walaupun sepuluh orang, dua puluh orang, tiga puluh orang, atau empat puluh orang berjalan bersama-sama melalui jalan ini, akhirnya mereka jatuh ke tangan Angulimala.

Sang Buddha tetap berjalan dengan tenang.
Untuk ketiga kalinya penggembala sapi, penggembala domba, dan pembajak sawah yang lewat melihat Sang Buddha berjalan ke arah Angulimala. Mereka berkata kepada Sang Buddha sebagai berikut: "Bhante, jangan pergi lewat jalan ini. Ada penjahat, tangannya berlumuran darah, dan dia merampok dan membunuh manusia, tidak menarus belas kasihan kepada makhluk-makhluk. Karena dia, desa-desa kecamatan-kecamatan, dan kota-kota diporak-porandakan. Dia membunuh orang-orang, kemudian membuat kalung dari jari manusia dan memakainya. Walaupun sepuluh orang, dua puluh orang, tiga puluh orang, atau empat puluh orang berjalan bersama-sama melalui jalan ini, akhirnya mereka jatuh ke tangan Angulimala.

Sang Buddha tetap berjalan dengan tenang.
Penjahat Angulimala melihat Sang Buddha dari kejauhan. Ketika dia meli­hat Sang Buddha, dia berpikir: 'Benar-benar hebat! benar-benar menakjubkan! Orang-orang berjalan di jalan ini berkelompok-kelompok yang terdiri atas sepuluh orang, dua puluh orang, tiga puluh orang dan bahkan empat puluh orang, dari waktu ke waktu, tetapi mereka masih jatuh ke tanganku. Lalu, sekarang bhikkhu ini datang sendirian 'Mengapa tidak aku ambil saja nyawa bhikkhu ini?'
Angulimala menghunus pedangnya dan menarik busur dan anak panahnya, dan ia mengikuti di belakang Sang Buddha.

Kemudian, Sang Buddha menunjukan kekuatan batinnya sehing­ga Angulimala, yang sedang berjalan secepat-cepatnya, tidak menangkap Beliau yang sedang berjalan dengan langkah biasa. Kemudian, dia berpikir" 'Benar-benar hebat, benar-benar menakjubkan! Aku pernah menangkap gajah yang ganas dan menguasainya, aku pernah menangkap kuda yang ganas dan menguasainya, aku pernah menangkap kereta perang dan menguasainya, aku pernah menangkap rusa ganas dan sebagainya, tetapi meskipun aku berjalan secepat-cepatnya, aku tidak mampu menangkap bhikkhu yang berjalan dengan langkah biasa ini!' 'Ia berhenti dan berteriak: 'Berhenti, bhikkhu, berhenti, bhikkhu!'
'Aku telah berhenti, Angulimala. Apakah engkau berhenti juga?'
Kemudian, penjahat Angulimala berpikir: "Para bhikkhu ini, putra-putra Sakya, mengucapkan kebenaran, menyatakan kebenaran,  tetapi, meskipun bhikkhu ini masih berjalan ia mengatakan "Aku telah berhenti, Angulimala. Apakah engkau berhenti juga?" Bagaimana kalau saya bertanya kepada bhikkhu ini?'
Kemudian, ia menyampaikan kepada Sang Buddha baik-bait sebagai berikut:
'Bhante, sementara Bhante masih berjalan, bhante mengatakan telah berhenti'
Tetapi, kini setelah saya berhenti, Bhante mengatakan saya belum berhenti.
Sekarang saya bertanya kepada Bhante, apakah artinya ini.
Bagaimana bhante telah berhenti dan saya belum berhenti?
'Angulimala, aku telah berhenti selama-lamanya, dengan
menghentikan kekejaman kepada setiap makhluk hidup'
Tetapi, engkau belum menahan diri dari penyiksaan terhadap makhluk hidup.
Itulah artinya bahwa aku telah berhenti dan kamu belum berhenti.
Wahai, setelah begitu lama, seorang petapa terpuji, bhikkhu ini muncul di hutan yang lebat ini:
Saya sungguh-sungguh akan melepaskan semua kejahatan.
Dengan mendengarkan bait-baitmu yang menunjukkan Dhamma.
Sesudah berkata demikian, sang penjahat melepaskan pedang dan
senjata lainnya dan melemparkan semua itu ke jurang yang curam.
Sang penjahat bersujud di kaki Sang Buddha, dan kemudian
memohon pabbajja (penahbisan) pada saat itu juga.
Sang Buddha, petapa agung nan penuh welas asih, Guru para
dewa dan manusia, mengucapkan "Datanglah, bhikkhu", dan
dengan kata-kata itu, dia menjadi bhikkhu.
Kemudian, Sang Buddha berangkat untuk berkelana kembali ke Savatthi bersama Angulimala sebagai bhikkhu pembantu beliau, dan pada akhirnya tiba di Savatthi. Sang Buddha tinggal di Jetavana, Taman Anatahapindika, di Savatthi.

Pada waktu itu kerumunan-kerumunan orang berkumpul di pintu gerbang Istana Raja Pasenadi, sangat berisik dan membuat kegaduhan dengan berteriak: 'Bagaimana, ada seorang penjahat bernama Angulimala di kerajaan Tuan, dia kejam, tangannya berlumuran darah, dia kerajingan memukul dan menganiaya, dan tak mengenal belas kasihan kepada semua makhluk. Desa-desa, kecamatan-kecamatan, dan kota-kota diporakporandakan olehnya. Dia terus menerus membunuh orang-orang, membuat kalung dari jari manusia dan memakainya! Baginda harus menyingkirkannya !
Kemudian, pada siang hari Raja Pasenadi dari Kosala berangkat bersama pengawal dengan lima ratus pasukan kuda menuju Taman Anathapindika. Beliau menyusuri jalan sepanjang masih mungkin untuk ditempuh dan kemudian beliau turun dari keretanya dan menemui Sang Buddha dengan berjalan kaki. Setelah memberi hormat kepada Sang Buddha, beliau duduk di satu sisi. Setelah itu, Sang Buddha berka­ta kepadanya: 'Ada apa, raja agung ? Apakah baginda mendapat serangan dari raja Seniya Bimbisara dari Magadha, atau kaum Licchavi dari Vesali, atau raja-raja lain yang bermusuhan?'
'Bhante, Raja Seniya Bimbisara dari Magadha tidak menyerang saya, tidak pula kaum Licchavi dari Vesali atau raja-raja yang bermusuhan menyerang saya. Tetapi, ada seorang penjahat di kerajaan saya yang disebut Angulimala, yang kejam, tangannya berlumuran darah, keranjingan memukul dan menganiaya, dan tak mengenal belas kasihan kepada semua makhluk. Desa-desa, kecamatan-kecamatan, dan kota-kota diporakporandakan olehnya. Ia terus menerus membunuh orang-orang, membuat kalung dari jari manusia dan memakainya. Saya tidak pernah mampu menyingkirkannya, Bhante.'
'Raja agung, jika Tuan melihat Angulimala telah mencukur rambut dan jenggotnya, mengenakan jubah kuning, dan menempuh kehidupan tanpa berumah tangga, dan menempuh kehidupan tanpa berumah tangga, dan bahwa ia telah men­jauhi pembunuhan, tidak mengambil sesuatu yang tidak diberikan, dan menjauhi kedustaan dan makan hanya sekali sehari, ia menempuh kehidupan luhur dalam kebajikan dan Dhamma nan suci, jika tuan melihatnya demikian, bagaimana tuan akan memperlakukannya?'
'Bhante, kami akan menghormatinya, atau kami akan bangkit untuk menghormatinya, atau kami akan mempersilahkannya duduk, atau kami mengundangnya untuk menerima jubah, dana makanan, tempat kediaman, obat-obatan yang dibutuhkan, atau kami akan mengatur perawatannya sesuai dengan Dhamma, dan mengatur bagaimana penjagaan hukum, pertahanan, dan perlindungan. Tetapi, Bhante, dia adalah penja­hat, orang yang bersifat buruk, bagaimana dia dapat mempunyai kebajikan dan pengendalian diri demikian?'
Pada waktu itu, Bhikkhu Angulimala sedang duduk tidak jauh dari tempat Sang Buddha. Sang Buddha mengulurkan tangan kanannya, dengan berkata kepada Raja Pasenadi dari Kosala: 'Baginda Raja, inilah Angulimala.'
Kemudian, Raja Pasenadi gelisah dan takut, dan rambutnya berdiri tegak. Mengetahui hal ini, Sang Buddha berkata kepadanya: 'Jangan kuatir, raja agung, jangan kuatir. Tidak ada yang perlu baginda takuti.'
Kemudian, kegelisahan dan ketakutan serta kengerian sang raja dilenyap­kan. Beliau mengamati Bhikkhu Angulimala dan berkata: 'Bhante, benarkah Bhante adalah bhikkhu Angulimala?'
'Ya, raja agung.'
'Bhante, siapakah ayah Bhante? Siapakah ibu Bhante?'
'Ayahku adalah Gangga, sedangkan ibuku adalah Mantani.'
'Bhante, putra Gangga, dan Mantani, semoga puas menjalani hidup kebhikk­huan. Saya akan mengurus kebutuhan Bhante dengan menyediakan jubah, makanan, tempat kediaman, dan obat-obatan.'

Pada waktu itu Bhikkhu Angulimala menetap di hutan, makan dari hasil pindapata, memakai jubah dari kain sisa yang hanya dimilikinya sebanyak tiga buah. Beliau menjawab: 'Cukup baginda, tiga jubah cukup bagi saya.'
Raja Pasenadi kemudian menghadap Sang Buddha kembali, dan setelah mem­beri hormat, sang raja duduk di satu sisi. Setelah berbuat demikian, ia berka­ta: 'Sungguh menakjubkan, bhante, Sungguh hebat cara Bhante menaklukkan orang yang sukar ditaklukkan, menenangkan orang yang belum tenang, dan membawa pembebasan bagi yang belum terbebas. Bhante, orang yang tidak dapat kami taklukkan dengan hukuman atau senjata telah Sang Buddha taklukkan tanpa huku­man atau senjata. Kini, Bhante, kami mohon diri; kami sibuk dan terlalu banyak yang harus dikerjakan.
Silakan, baginda, sudah waktunya.'
Kemudian, Raja Pasenadi bangkit dari tempat duduknya, dan stelah memberi hormat kepada Sang Buddha, dengan tetap mengarah kepada Sang Buddha di sisi kanannya, beliau mengundurkan diri.
Kemudian, ketika pagi hari menjelang, Bhante Angulimala mengenakan jubah dan, setelah mengambil mangkuk dan jubah luarnya, beliau menuju savatthi untuk berpindapata. Ketika beliau berjalan dari rumah ke rumah untuk pindapata di Savatthi, beliau melihat seorang wanita dalam kesulitan untuk melahirkan anak. ketika ia melihat hal ini, ia berpikir: 'Betapa makhluk hidup menderita; makhluk hidup benar-benar menderita!

Setelah beliau berjalan untuk pindapata di Savatthi dan kembali dari pindapata setelah makan, beliau menghadap Sang Buddha, dan setelah memberi hormat kepada-Nya, beliau duduk di satu sisi. Setelah itu, beliau berkata: "Bhante, ketika pagi hari menjelang, saya mengenakan jubah dan, setelah men­gambil mangkuk dan jubah luar, saya pergi ke Savatthi untuk pindapata. Ketika saya berjalan dari rumah ke rumah untuk pindapata di Savatthi, saya melihat seorang wanita dalam kesulitan untuk melahirkan anak. Ketika melihat hal itu, saya berpikir: 'Betapa menderita makhluk hidup; makhluk hidup benar-benar menderita!'
'Jika begitu, Angulimala, pergilah ke Savatthi dan katakan kepada wanita itu: "Saudari, sejak dilahirkan tak pernah aku membunuh makhluk hidup. Dengan kebenaran ini, semoga engkau dan bayi dalam kandunganmu selamat.'
'Bhante, tidaklah saya berbohong secara sadar dengan berkata begitu? Sudah banyak makhluk hidup saya bunuh dengan sengaja.'
'Lalu, Angulimala, pergilah ke Savatthi dan katakan kepada wanita itu: "Saudari, sejak aku dilahirkan sebagai seorang ariya, Aku tidak ingat dengan sengaja pernah membunuh suatu makhluk hidup apa pun. Dengan kebenaran ini, semoga anda dan bayi dalam kandunganmu selamat.”
‘Ya. Bhante,’ Jawab Bhikku Angulimala, dan setelah pergi ke Savatthi dia berkata kepada perempuan itu:

Yatohaṁ bhagini ariyāya jātiyā jāto,
Nābhijānāmi sancicca pāṇaṁ jīvitā voropetā,
Tena saccena sotthi te hotu sotthi gabbhassa.

‘Saudari, sejak aku dilahirkan sebagai seorang ariya
Aku tidak ingat dengan sengaja pernah membunuh suatu makhluk hidup
apa pun.
Dengan kebenaran ini, semoga anda dan bayi dalam kandunganmu selamat.’

Lalu, wanita itu dan bayinya selamat dan sehat.
Kemudian, dengan tinggal menyendiri, tekun, sangat rajin, dan penuh pengendalian diri, Bhikkhu Angulimala, dengan menyelami dirinya sendiri dan kemudian tenang dalam tujuan luhurnya untuk mencapai kebebasan melalui kehidu­pan tanpa berumah tangga. Beliau menyadari: 'Kelahiran telah berakhir, kehidu­pan luhur telah ditempuh, yang harus dilakukan telah dilakukan, tak ada yang perlu datang kembali.'
Kemudian, Bhante Angulimala menjadi salah seorang Arahat.
Kemudian, ketika pagi hari menjelang, Bhikkhu Angulimala mengenakan jubah, dan setelah mengambil mangkuk dan jubah luarnya, beliau pergi ke Savat­thi untuk pindapata. Pada waktu itu, segumpal tanah yang dilemparkan oleh seorang mengenai tubuh Bhikkhu Angulimala, dan sebatang kayu yang dilemparkan oleh seorang mengenai tubuhnya, dan sebuah potongan barang  pecah yang dilem­parkan oleh seseorang mengenai tubuhnya.
Lalu, dengan darah yang mengalir dari kepalanya, dengan mangkuk yang pecah dan dengan jubah yang sobek, Bhikkhu Angulimala menghadap Sang Buddha. Sang Buddha melihatnya datang dan beliau berkata kepadanya: 'Tahanlah, pertapa, tahanlah. Engkau sedang menikmati buah karma yang kematangannya seharusnya engkau alami di neraka selama bertahun-tahun, berabad-abad beratus ribu tahun.
Kemudian, sementara Bhikkhu Angulimala berdiam di tempat sunyi merasakan kebahagiaan kebebasan, beliau mengutarakan ungkapan ini:

‘Dia yang pernah hidup lalai
Dan kemudian tidak lalai
Maka ia akan menerangi dunia
Bagaikan rembulan yang terbebas dari awan.

Yang menghentikan perbuatan-perbuatan jahat yang telah dilakukannya
Dengan melakukan perbuatan-perbuatan bajik sebagai gantinya
Maka ia akan menerangi dunia
Bagaikan rembulan yang terbebas dari awan.

Bhikku muda yang mengerahkan
Usaha-usahanya untuk Ajaran Buddha,
Maka ia akan menerangi dunia
Bagaikan rembulan yang terbebas dari awan.

Semoga musuh-musuhku mendengar pembabaran Dhamma,
Semoga mereka tekun dalam Ajaran Buddha,
Semoga musuh-musuhku melayani orang- orang baik itu
Yang membimbing orang lain untuk menerima Dhamma.

Semoga musuh-musuhku mau memasang telinga dari saat ke saat
Dan mendengar Dhamma dari mereka yang mengajarkan pembebasan
Dari mereka yang juga menghargai cinta kasih
Dan semoga mereka menjalankan Dhamma itu dengan perbuatan-perbuatan baik.

Karena tentu kemudian mereka tidak akan ingin menyakitiku
Tidak juga mereka berpikir untuk merugikan makhluk lain
Maka, mereka yang mau melindungi semuanya, yang lemah dan kuat
Semoga mereka mencapai kedamaian yang melebihi semuanya.

Pembuat saluran mengarahkan air
Pembuat panah meluruskan batang anak-panah
Tukang kayu meluruskan kayu
Tetapi orang bijak berusaha untuk menaklukkan diri sendiri.

Ada beberapa yang menaklukkan dengan pukulan
Beberapa dengan tongkat dan beberapa dengan cambuk
Tetapi aku ditaklukan hanya oleh
Sang Buddha yang tidak memiliki tongkat maupun senjata.

Dahulu namaku adalah Ahimsaka (tak menyakiti)
Walaupun aku berbahaya di masa lalu.
Sekarang aku benar-benar menjadi Ahimsaka (tak menyakiti)
Aku sama sekali tidak menyakiti makhluk hidup.

Dan walaupun aku dulu hidup sebagai penjahat
Dengan nama ‘Untaian-Jari,’
Aku terhanyut oleh kegelapan
Tetapi akhirnya aku berlindung kepada Sang buddha.

Dan walaupun aku dulu memiliki tangan yang terlumur darah
Dengan nama “Untaian-jari,”
Berkat perlindungan yang kujumpai
Aku terbebas tanpa kelahiran kembali.

Walaupun aku dulu melaukan banyak perbuatan yang membawa
Menuju kelahiran di alam-alam yang jahat
Namun akibatnya telah sampai padaku sekarang
Maka kini aku makan bebas dari  hutang.

Mereka adalah orang-orang dengan kebodohan batin dan tidak punya akal sehat
Yang menyerahkan diri mereka  pada kelalaian
Tetapi mereka yang punya kebijaksanaan menjaga ketekunan
Dan memperlakukannya sebagai kebaikan terbesar.

Jangan menyerah pada kelalaian
Jangan pula mencari sukacita dalam kesenangan-kesenangan indera
Tetapi bermeditasilah dengan tekun
Agar supaya mencapai kebahagiaan sempurna.

Jadi silakan datang pada pilihanku itu
Dan biarlah hal itu bertahan, karena ia tidak salah dibuat
Dari semua Dhamma yang diketahui manusia
Aku telah datang yang paling baik.

Jadi silakan datang pada pilihanku itu
Dan biarlah hal itu bertahan, karena ia tidak salah dibuat
Aku telah mencapai tiga pengetahuan
Dan melaksanakan semua yang diajarkan Sang Buddha.’

Sutta Pitaka, Majjhima Nikaya, Majjhima Pannasa, Raja Vagga, Angulimala Sutta (MN 86)

No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

close