-->

Tuesday 15 December 2015

ANATTALAKKHANA SUTTA

ANATTALAKKHANA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar. 

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu: “Para bhikkhu.”

“Yang Mulia.” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bentuk adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, bentuk adalah diri, maka bentuk tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘biarlah bentukku seperti ini, biarlah bentukku tidak seperti ini.’ Tetapi karena bentuk adalah bukan diri, maka bentuk menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘biarlah bentukku seperti ini, biarlah bentukku tidak seperti ini.’


Perasaan adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, perasaan adalah diri, maka perasaan tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan perasaan: ‘biarlah perasaan ku seperti ini, biarlah perasaan ku tidak seperti ini.’ Tetapi karena perasaan adalah bukan diri, maka perasaan menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan perasaan: ‘biarlah perasaan ku seperti ini, biarlah perasaan ku tidak seperti ini.’

Persepsi adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, persepsi adalah diri, maka persepsi tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan persepsi: ‘biarlah persepsi ku seperti ini, biarlah persepsi ku tidak seperti ini.’ Tetapi karena perasaan adalah bukan diri, maka persepsi menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan persepsi: ‘biarlah persepsi ku seperti ini, biarlah persepsi ku tidak seperti ini.’

Bentukan bentukan kehendak adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, bentukan bentukan kehendak adalah diri, maka bentukan bentukan kehendak tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan bentukan bentukan kehendak: ‘biarlah bentukan bentukan kehendak ku seperti ini, biarlah bentukan bentukan kehendak ku tidak seperti ini.’ Tetapi karena bentukan bentukan kehendak adalah bukan diri, maka bentukan bentukan kehendak menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan bentukan bentukan kehendak: ‘biarlah bentukan bentukan kehendak ku seperti ini, biarlah bentukan bentukan kehendak ku tidak seperti ini.’

Kesadaran adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, kesadaran adalah diri, maka kesadaran tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.’ tetapi karena kesadaran adalah bukan-diri, maka kesadaran menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan kesadaran: ‘biarlah kesadaranku seperti ini; biarlah kesadaranku tidak seperti ini.’”

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?” “Tidak kekal, Yang Mulia.” “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” “Penderitaan, Yang Mulia.” “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku’?” “Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah perasaan adalah kekal atau tidak kekal?” “Tidak kekal, Yang Mulia.” “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” “Penderitaan, Yang Mulia.” “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku’?” “Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah persepsi adalah kekal atau tidak kekal?” “Tidak kekal, Yang Mulia.” “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” “Penderitaan, Yang Mulia.” “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku’?” “Tidak, Yang Mulia.”

Apakah bentukan bentukan kehendak adalah kekal atau tidak kekal?” “Tidak kekal, Yang Mulia.” “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” “Penderitaan, Yang Mulia.” “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku’?” “Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” “Tidak kekal, Yang Mulia.” “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” “Penderitaan, Yang Mulia.” “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan layak dianggap sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku’?” “Tidak, Yang Mulia.”

“Oleh karena itu, para bhikkhu, bentuk apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Perasaan apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

Persepsi apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’”

“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terlatih mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan maka batinnya terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

Demikianlah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu itu gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Dan ketika khotbah ini sedang dibabarkan, batin para bhikkhu dari Kelompok Lima itu terbebaskan dari noda- noda melalui ketidak melekatan.

Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, Khandha Vagga, Khandha Samyutta, Upaya Vagga, Anattalakkhana Sutta (SN 22. 59)

No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

close