-->

Friday 25 December 2015

Kebijaksanaan Buddhis untuk Pendidikan Jurnalisme ASEAN

Sebuah simposium yang membahas kurikulum pendidikan junarlisme di negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) melakukan penelaahan penerapan kebijaksanaan Buddhis dan agama besar Asia lainnya seperti Hindu dan Kong Hu Cu ke dalam kurikulum tersebut.

Para sarjana komunikasi, praktisi media dan filsuf dari seluruh Asia di antaranya dari Thailand, India, Sri Lanka, Bhutan, Korea Selatan, Laos, Kamboja, Malaysia dan Singapura, bertemu dalam sebuah simposium di Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand, pada 14-15 Desember 2015, untuk merevisi kurikulum pendidikan jurnalisme di ASEAN.

Simposium yang berada di bawah proyek besar bertema “Komunikasi Berkesadaran untuk Integrasi ASEAN” (Mindful communication for ASEAN Integration) tersebut telah disetujui dan didanai oleh Program Internasional untuk Pengembangan Komunikasi (International Programme for the Development of Communication – IPDC), sebuah program dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengembangkan materi-materi kursus dan melatih para pelatih untuk menerapkan kurikulum untuk pendidikan jurnalisme di ASEAN yang baru ditinjau.


Proyek tersebut menjadi unik karena dalam mencapai tujuannya memasukkan ajaran-ajaran filosofis Agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu dari Asia yang mempromosikan keharmonisan, perlindungan terhadap lingkungan hidup, menghormati keragaman budaya, dan model ekonomi yang berfokus pada kemandirian. Dengan demikian diharapkan dapat melatih para jurnalis abad ke-21 untuk membuat media yang akan mempromosikan keharmonisan daripada konflik.

Terkait masalah jurnalisme berkesadaran (mindfulness), dalam pidato pembukaan di simposium tersebut, Y.M. Bhikkhu Phuwadol Piyasilo, seorang bhikkhu dari tradisi Hutan yang merupakan lulusan seni komunikasi dari Universitas Chulalongkorn dan juga mantan jurnalis Thailand, mencatat bahwa bentuk dari berkesadaran yang dipraktikkan di dunia Barat “sedikit bermasalah”, karena digunakan terutama pada tingkat individualistis untuk menghilangkan stres atau ketegangan.

“Praktik berkesadaran di Barat mencoba untuk menjadi sekuler dan dipraktikkan tanpa memiliki nilai-nilai religius di dalamnya,” katanya seperti yang dilansir IDN-InDepthNews Analysis, Sabtu (19/12/2015).

“Anda perlu menemaninya dengan panna (kebijaksanaan). Tanpa kebijaksanaan moral, praktik ini tidak akan cukup untuk mendorong kita ke arah yang benar untuk membantu masyarakat,” jelasnya.

Pembicara kunci lainnya, Prof. Supaporn Phokaew dari Fakultas Seni Komunikasi Universitas Chulalongkorn berpendapat bahwa pemahaman yang tepat tentang kebaikan dan belas kasih terhadap semua makhluk hidup yang merupakan aspek mendasar dari Agama Buddha bisa membekali para jurnalis dengan empati terhadap orang yang sedang mereka beritakan. “Kita mengajarkan para mahasiswa keterampilan menulis dan berbicara, tetapi tidak keterampilan mendengarkan,” katanya. “Kita perlu untuk memperkenalkan mengajar keterampilan mendengarkan yang dalam untuk berlatih komunikasi berkesadaran. Kita perlu mendengarkan orang-orang untuk berhubungan dengan masyarakat.”

Dorji Wangchuk, dekan dari Sekolah Tinggi Royal Thimpu Bhutan menjelaskan bahwa model “kekuatan keempat” jurnalisme Barat cepat menghilang karena munculnya media sosial, yang mengubah cara mengisahkan dan menyebarkan narasi serta mengubah interaksi sosial. Ia berpendapat bahwa Asia harus mengembangkan model media berbasis pada pencapaian kepuasan dalam masyarakat.

“Bhutan sedang membangun suatu bentuk jurnalisme yang menganjurkan kepuasan, komunitas, belas kasih dan nilai-nilai utama masyarakat Bhutan,” katanya. “Jurnalisme jalan tengah akan mempromosikan berita sebagai sebuah kebaikan sosial dan bukan sebagai komoditas komersial, dan akan membantu membangun masyarakat, konsensus dan kepuasan dan tidak berkembang pada konflik, kontroversi dan komersialisme.”

Penulis dan penyair wanita Thailand, Khunying Chamnongsri Hanchanlash berpendapat bahwa integritas jurnalistik akan datang secara alami kepada pikiran yang terlatih dalam praktik-praktik Buddhis seperti berperilaku baik (sila), ketenangan pikiran (samadhi), dan pemahaman mendalam (panna).

“Untuk komunikasi, hal ini merupakan eksplorasi apa yang muncul di satu pikiran sendiri, emosi, bias, motif, sebelum tindakan yang sebenarnya komunikasi. Ini adalah ruang ‘mengetahui’ di mana yang dapat memutuskan daripada bereaksi.”

“Berkesadaran penuh, adalah kualitas yang dikembangkan dari praktik,” ia menjelaskan. “Bagi komunikasi, ini merupakan sebuah penjelajahan dari apa yang muncul dalam pikiran, emosi, bias, motif diri sendiri, sebelum tindakan komunikasi yang sebenarnya. Ini adalah ruang ‘mengetahui’, tempat seseorang dapat memutuskan alih-alih bereaksi.”

Sementara itu, Profesor Kwangsoo Park, Kepala Pusat Penelitian Agama Universitas Wonkwang di Korea Selatan mengatakan, “Jurnalis memiliki peran penting untuk menyampaikan bahwa masyarakat dan pemimpin spiritual dunia dapat memainkan peran penting dalam menyikapi permasalahan (pembangunan) besar (umat manusia).”

“Para jurnalisharus mengembangkan minat mereka dalam nilai-nilai etika baru untuk manfaat orang-orang lemah dan miskin dalam ekonomi global (dan menunjukkan) bahwa hal itu perlu bagi kita semua untuk mengubah gaya hidup kita (untuk menghindari) krisis keuangan global.”

Program Internasional untuk Pengembangan Komunikasi merupakan satu-satunya forum multilateral dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirancang untuk memobilisasi masyarakat internasional untuk membahas dan mempromosikan pengembangan media di negara-negara berkembang. Program ini tidak hanya memberikan dukungan untuk proyek-proyek media, namun juga mencari sebuah kesepakatan untuk mengamankan lingkungan yang sehat bagi pertumbuhan media yang bebas dan pluralistis di negara-negara berkembang.

Sumber : http://berita.bhagavant.com/

No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

close