-->

Thursday 31 December 2015

Kamboja Menyelenggarakan Kongres Para Bhikkhu Seluruh Kamboja Ke-24

Pertemuan Kongres Para Bhikkhu Kamboja Ke-24 diadakan selama dua hari di Balai Konferensi Chaktomuk, Phnom Penh, pada Selasa (29/12/2015). 

Kongres yang mempersatukan sekitar 800 bhikkhu senior dari seluruh Kamboja untuk meninjau kembali pencapaian yang telah diraih pada tahun 2015 ini dan menetapkan rencana kegiatan untuk tahun depan, Kongres ini dibuka oleh Presiden Majelis Nasional Kamboja Heng Samrin.

Seperti yang dilansir Agence Kampuchea Press, Selasa (29/12/2015), kegiatan tersebut bertujuan untuk menilai hasil pelaksanaan deklarasi yang dibuat oleh pimpinan bhikkhu di tahun sebelumnya melalui diskusi dan pertukaran pendapat mengenai urusan agama dan menetapkan tujuan untuk memperkuat pelaksanaannya sesuai dengan struktur manajemen bagi pertumbuhan Agama Buddha.

Atas nama Raja Norodom Sihamoni, Heng Samrin menekankan bahwa acara tahunan tersebut akan memberikan perhatian pada penguatan struktur manajemen dan pengawasan, menghormati dan melaksanakan Dhamma dan Vinaya (peraturan disiplin).

Menurut Menteri Agama dan Kepercayaan Kamboja Min Khin, saat ini terdapat 4.755 vihara dan 59.516 viharawan di seluruh Kamboja.

Para bhikkhu di Kamboja terdiri dari dua tradisi besar yaitu tradisi Maha Nikaya yang dipimpin oleh Y.M. Sangharaja Non Nget, dan tradisi Dhammayuttika Nikaya yang dipimpin oleh Y.M. Sangharaja Bour Kry.

Dan untuk mempersatukan kedua tradisi tersebut gelar Sangharaja Agung dibentuk, yang kini dipimpin oleh Y.M. Tep Vong.

Sumber : http://berita.bhagavant.com/

Wednesday 30 December 2015

Empat Macam Manusia Oleh Bhikkhu Atthapiyo

Merupakan kekhasan dari Aṅguttara Nikāya, di mana kita dapat menemukan Sang Buddha membabarkan Dhamma menggunakan skema numerik sebagai kerangka khotbah. Artinya Dhamma yang dibabarkan diuraikan dalam poin-poin bernomor. Dengan tujuan agar pendengar mampu mengingat ajaran tersebut dalam jangka waktu yang lama. Terdiri dari kelompok satu bertingkat hingga kelompok sebelas. Pada kesempatan ini akan diuraikan salah satu sutta yang ada dalam kelompok empat.

Sutta tersebut membahas tentang tipe manusia berdasarkan apa yangdiperbuat. Akibat yang dihasilkan dari perbuatan masa lalu dan akibat yang akan diperoleh di masa depan karena perbuatannya yang sekarang ini. Dalam bentuk perumpamaan gelap sebagai hal yang buruk dan terang sebagai hal yang baik, dapat dimengerti dengan uraian berpasangan;

1. Gelap Menuju Gelap
Secara literal dalam sutta tersebut diuraikan bahwa seseorang karena kehidupan lampaunya berbuat yang tidak baik seperti tidak pernah berdana, melanggar sãla, tidak punya kebijaksanaan. Maka, pada ke-hidupan sekarang orang tersebut terlahir sebagai manusia yang buruk rupa, bodoh, miskin, dan sulit dalam mencari nafkah. Orang demikian dalam hidupnya melakukan pelanggaran sãla untuk memenuhi kebutuhan tersebut; seperti membunuh, mencuri, merampok, mabuk-mabukan. Maka, ketika kematian tiba orang tersebut terlahir di alam menderita. 

Dharma Optimis atau Realistis? Berharap atau Memutuskan?

Dharma, optimis atau realistis? Itu sebuah pertanyaan sederhana, namun apabila dijawab, ulasannya cukup menarik. Saat pertama kali bayi mencoba untuk berjalan, apa yang akan terjadi? Apakah bayi ini langsung bisa berjalan seperti halnya orang dewasa atau dengan perlahan-lahan dan akan sering terjatuh? Sudah pasti perlahan dan sering terjatuh. Lalu apa yang dipikirkan orangtuanya ketika melihat bayinya berkali-kali terjatuh?

Apakah orangtua berharap bayinya bisa berjalan sendiri, berharap bayinya tidak terjatuh, berharap bayinya tidak menangis setelah terjatuh, atau orangtuanya memutuskan untuk menemaninya berlatih berjalan, memegang kedua tangannya dengan hati-hati, dan dengan sabar membangunkannya kembali saat terjatuh sampai akhirnya bisa berjalan sendiri. Tentu memutuskan menemani bayinya berlatih berjalan lebih tepat ketimbang berharap bayinya bisa mandiri.

Optimis atau realistis, nampaknya dua kata ini memiliki makna yang sepadan, namun terdapat perbedaan operasionalnya. Saat kita diajarkan tentang arti semangat, mungkin kata yang tepat adalah optimis, selalu berpengharapan baik dalam segala hal. Ketika ada masalah, kita diajarkan sebaiknya bersikap optimis, bisa melewati masalah itu dan ada jalan keluarnya. Nah, di saat kita optimis, harapan untuk bisa menyelesaikan masalah pun muncul.

Sunday 27 December 2015

Ajaran Buddha Tentang Anatta Didukung Neurosains

bodhi-prajna.blogspot.com

Ajaran Agama Buddha mengenai Anatta (bukan Diri) semakin didukung oleh penelitian ilmiah khususnya bidang Neurosains atau ilmu syaraf.

Banyak orang menganggap bahwa diri mereka memiliki kedirian (segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas diri, baik secara fisik maupun psikis) yang tetap, tidak berubah atau abadi selama hidupnya, namun ajaran Agama Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada bukanlah Diri (suatu substansi atau inti yang kekal), termasuk kedirian manusia.

“Umat Buddha berpendapat bahwa tidak ada yang tetap, semuanya berubah melalui waktu, Anda memiliki arus kesadaran yang terus berubah,” kata Evan Thompson, seorang profesor filsafat batin/budi (philosophy of mind) di Universitas British Columbia, Kanada, seperti yang dilansir situs Quartz, Minggu (20/9/2015).

Melihat Buddha Bamiyan di Afghanistan dengan Proyeksi Laser

bodhi-prajna.blogspot.com

Dengan teknologi proyeksi laser 3D, rupaka atau arca Buddha Bamiyan raksasa di Afghanistan direkonstruksi dalam bentuk hologram 3D yang dikerjakan selama 2 hari dari 6 hingga 7 Juni 2015.

Sejak dihancurkan dengan dinamit oleh pasukan Taliban pada sebelas tahun yang lalu tepatnya sejak 2 Maret 2001, kini rupaka Buddha Bamiyan direkonstruksi dalam bentuk hologram dengan teknologi proyeksi sinar laser 3D atas prakarsa dari pasangan suami-istri asal Tiongkok, Zhang Xinyu dan Liang Hong yang merasa sedih atas hancurnya dua rupaka Buddha yang dipahat pada abad ke-6 tersebut.

Indahnya Borobudur di Thailand

bodhi-prajna.blogspot.com

Kemasyuran akan kemegahan Candi Borobudur sebagai warisan budaya Buddhis Indonesia tidak diragukan lagi. Hingga ke mancanegara, keindahan arsitekturnya yang menakjubkan membuat berbagai kalangan terkesan dan terinspirasi olehnya.

Terletak di dalam kompleks Vihara Prachakomwanaram (Wat Prachakomwanaram) atau Vihara Pa Kung (Wat Pa Kung) di Distrik (Amphoe) Si Somdet, Provinsi Roi Et, Thailand Utara, 25 km dari Distrik Muang, Provinsi Roi Et, sebuah kompleks stupa berjenjang yang besar yang disebut Cetiya Hin Sai, berdiri dengan kokoh.

Cetiya Hin Sai, disebut-sebut sebagai “Borobudur dari Thailand” karena bentuknya yang memang menyerupai Candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.

Friday 25 December 2015

Museum Buddhis Pertama Vietnam Dibuka di Da Nang

bodhi-prajna.blogspot.com

Museum kebudayaan Buddhis yang untuk pertama kalinya ada di Vietnam akan resmi dibuka di pusat Kota Da Nang dengan menampilkan lebih dari 500 benda-benda antik Buddhis termasuk artefak yang diberi peringkat sebagai harta nasional.

Museum Kebudayaan Buddhis yang berada di dalam Vihara Quan The Am (Avalokitesvara) di Distrik Ngu Hanh Son telah mendapatkan izin dari pemerintah kota dan berdiri pada akhir 2014 yang lalu.

Kebijaksanaan Buddhis untuk Pendidikan Jurnalisme ASEAN

Sebuah simposium yang membahas kurikulum pendidikan junarlisme di negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) melakukan penelaahan penerapan kebijaksanaan Buddhis dan agama besar Asia lainnya seperti Hindu dan Kong Hu Cu ke dalam kurikulum tersebut.

Para sarjana komunikasi, praktisi media dan filsuf dari seluruh Asia di antaranya dari Thailand, India, Sri Lanka, Bhutan, Korea Selatan, Laos, Kamboja, Malaysia dan Singapura, bertemu dalam sebuah simposium di Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand, pada 14-15 Desember 2015, untuk merevisi kurikulum pendidikan jurnalisme di ASEAN.

Simposium yang berada di bawah proyek besar bertema “Komunikasi Berkesadaran untuk Integrasi ASEAN” (Mindful communication for ASEAN Integration) tersebut telah disetujui dan didanai oleh Program Internasional untuk Pengembangan Komunikasi (International Programme for the Development of Communication – IPDC), sebuah program dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengembangkan materi-materi kursus dan melatih para pelatih untuk menerapkan kurikulum untuk pendidikan jurnalisme di ASEAN yang baru ditinjau.

Thursday 24 December 2015

Diskriminasi Membuat Sejumlah Umat Buddha Tidak Memiliki Akta Nikah Sampai Tua



Di beberapa tempat, perlakuan diskriminasi paling terasa salah satunya dalam hal pengurusan surat-surat kependudukan. Di Temanggung, Jawa Tengah, perilaku diskrimasi tersebut membuat sejumlah pasangan umat Buddha status pernikahannya tidak diakui oleh negara secara resmi, bahkan sampai anaknya telah dewasa.

Ini yang mendorong Darwanti memilih mengabdikan dirinya sebagai Pegawai Pembantu Pencatatan Perkawinan Buddha (P4B) di wilayah Temanggung walaupun dengan upah yang sangat kecil.

Darwanti adalah putri asli Temanggung yang lahir pada tanggal 5 Januari 1965 di Dusun Mruah, Desa Tleter, Kecamatan Kaloran. Ia ditunjuk oleh Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) pada tahun 2007 menjadi P4B, kemudian diajukan ke Kementerian Agama dan Catatan Sipil hingga mendapat Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah. Namun walaupun mendapat SK Gubernur, P4B tidak mendapatkan gaji, hanya mendapat insentif Rp 20 ribu per bulan.

Angkor Wat Larang Turis Selfie Bareng Bhikkhu



Angkor Wat memperketat aturan kunjungan bagi turis mancanegara. Salah satunya Angkor Wat melarang turis selfie bersama dengan bhikkhu.

Angkor Wat di Kamboja menjadi salah satu tujuan wisata terpopuler di dunia. Puluhan ribu turis mengunjungi Angkor Wat setiap tahunnya. Sayangnya, tidak semua turis yang berkunjung ke Angkor Wat menjaga etika mereka. Karena itu, pengelola Angkor Wat merilis video baru yang bertujuan mendesak wisatawan mengikuti kode etik di sana.

Saturday 19 December 2015

Seniman Thailand Buat Pahatan Es Buddha Tertinggi di Dunia



Prachuap Khiri Khan, Thailand – Satu tim seniman pemahat es memahat pahatan es Buddha tertinggi di dunia dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun Raja Thailand yang ke-88, pada Sabtu (12/2015).

Berlokasi di lapangan terbuka di depan Stasiun Kereta Api Hua Hin, di Distrik Hua Hin, Provinsi Prachuap Khiri Khan, pemahatan pahatan es Buddha setinggi 599 cm yang terbuat dari 99 balok es tersebut disaksikan oleh para warga dan turis asing. Kegiatan ini menambah warna bagi perayaan HUT Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej.

Seperti yang dilansir Manager Online, Sabtu (5/12/2015),  para warga yang menyaksikan dan berpartisipasi mengikuti kegiatan tersebut menggunakan baju berwarna kuning dan membawa lilin. Mereka berkumpul di depan ruang tunggu kerajaan di stasiun kereta api dan menyanyikan lagu tema HUT yang berjudul “Bapak Bangsa” (พ่อของแผ่นดิน). Mereka juga menuliskan ucapan penghargaan di sebuah papan berbentuk peta Thailand.

Somdet Phra Nyanasamvara Suvaddhana Mahathera


bodhi-prajna.blogspot.com

Somdet Sangharaja Thailand (Suvaddhana Mahathera, Charurn Gajavatra) (3 October 1913-24 October 2013)

Yang dipermuliakan Somdet Phra Nyanasamvara (Suvaddhana Mahathera) mempunyai nama asal 'Caroen', dan nama keluarga 'Khocchawat', dilahirkan di Propinsi Kancanaburi pada tanggal 3 Oktober 1913, bertahbis menjadi samanera ketika berusia 14 tahun di Wat Thevasangkharam, Kancanaburi, lalu belajar pendidikan Dhamma di Wat Bovornnisvesviharn hingga genap usia berupasampada. Beliau berupasampada di Wat Bovornnivesviharn pada tanggal 15 februari 1936 dengan Yang Dipermuliakan Royal Somdet Sangharaja Kromluang Vajiranyanavong bertindak sebagai upajjahaya. Beliau lalu berdiam dan melanjutkan pendidikan di Wat Bovornnisviharn hingga menuntaskan pendidikan dhamma media bahasa pali tingkat sembilan pada tahun 1941.

Ratusan Ribu Umat Hadiri Kremasi Jenazah Mendiang Sangharaja Thailand



Kremasi jenazah mendiang Sangharaja Thailand, Y.M. Nyanasamvara Suvaddhana Mahathera (Somdet Phra Nyanasamvara Suvaddhana) yang dilaksanakan pada Rabu sore (16/12/2015) dihadiri oleh ratusan ribu orang.

Setelah dua tahun disemayamkan, jenazah mendiang Sangharaja Thailand, Somdet Phra Nyanasamvara Suvaddhana akhirnya dikremasi dengan upacara utama disponsori oleh kerajaan diadakan di Vihara Rajavara Debsirindrawas (Wat Debsirindrawas Ratchaworawihan) di Bangkok. Sedangkan vihara-vihara lainnya di berbagai provinsi di Thailand mengadakan puja bakti bersama.

Seperti yang dilansir Bangkok Post Rabu (16/12/2015), para pemimpin Sangha dan perwakilan dari komunitas Buddhis dari 13 negara tiba di Thailand untuk menghadiri upacara kremasi tersebut.

Friday 18 December 2015

LOKA SUTTA

LOKA SUTTA


Di Savatthi. Duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Bhagava,

“Yang Mulia, berapa banyakkah hal- hal di dunia ini, yang ketika muncul, kemunculannya menyebabkan kerusakan, penderitaan, dan ketidak nyamanan?”

“Ada, Baginda, tiga hal di dunia ini, yang ketika muncul, kemunculannya menyebabkan kerusakan, penderitaan, dan ketidak nyamanan.

Apakah tiga hal ini?

SADDHAMMAPPATIRUPAKA SUTTA

SADDHAMMAPPATIRUPAKA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar.

Pada suatu ketika, Bhagava sedang berada di Savatthi di Hutan Jeta, Arama Anathapindika. Kemudian Yang Mulia Mahakassapa datang ke Bhagava, memberi hormat kepadaNya, duduk di satu sisi dan berkata kepadaNya,

“Yang Mulia, apakah alasan, apakah penyebab, mengapa sebelumnya terdapat sedikit aturan latihan tetapi banyak bhikkhu mencapai Pengetahuan Tertinggi, sedangkan sekarang ada lebih banyak aturan latihan namun lebih sedikit bhikkhu yang mencapai Pengetahuan Tertinggi?”

KASSAKA SUTTA

KASSAKA SUTTA


Di Savatthi. Pada suatu ketika, Bhagava menginstruksikan, menghimbau, membangunkan, dan mendorong para bhikkhu dengan pelajaran Dhamma yang berhubungan dengan Nibbana. Para bhikkhu mendengarkan Dhamma dengan perhatian, ketertarikan, kesadaran yang baik.

Kemudian muncullah pemikiran pada Mara, si jahat, “Petapa Gotama menginstruksikan, menghimbau, membangunkan, dan mendorong para bhikkhu dengan pelajaran Dhamma yang berhubungan dengan Nibbana. Para bhikkhu mendengarkan Dhamma dengan perhatian, ketertarikan, kesadaran yang baik. Bagaimakah jika aku datang ke Petapa Gotama untuk menggelapkan pandangannya (pengertiannya).”

ANI SUTTA

ANI SUTTA


Di Savatthi. “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau orang- orang Dasaraha memiliki sebuah tambur besar yang bernama ‘Pemanggil’. Ketika ‘Pemanggil’ pecah, orang- orang Dasaraha menyisipkan pasak tambahan, sampai akhirnya tiba waktunya badan kayu asli tambur menjadi hilang dan hanya sejumlah pasak tersisa.”

“Demikian pula, para bhikkhu, hal yang sama akan terjadi dengan para bhikkhu di masa depan. Ketika khotbah- khotbah ini yang dibabarkan oleh Sang Tathagata, mendalam, yang dalam maknanya, transenden, menjelaskan kekosongan, sedang dibacakan, mereka tidak bersemangat mendengarnya, tidak bersungguh- sungguh mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya dan mereka tidak berpikir bahwa ajaran- ajaran itu patut dipelajari dan dikuasai.”

BALISA SUTTA

BALISA SUTTA



Di Savatthi. Bhagava berkata kepada para bhikhu, “Para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan kemashyuran itu adalah sungguh menakutkan, tidak baik, berbahaya, bagi mereka yang ingin mencapai akhir dari duka. 

Seperti seorang nelayan melemparkan mata kail berumpan ke dalam danau yang dalam, dan seekor ikan yang sedang mencari makanan menelannya.

Ikan itu, setelah menelan mata kail si nelayan, akan menemui kemalangan dan bencana, dan nelayan itu dapat melakukan apa pun yang ia inginkan atas ikan itu."

MAGGA VIBHANGA SUTTA

MAGGA VIBHANGA SUTTA



Di Sāvatthī. Bhagavā berkata,“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai Jalan Mulia Berunsur Delapan dan Aku akan menelaahnya untuk kalian. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab.

Bhagavā berkata sebagai berikut, “Dan apakah, para bhikkhu, Jalan Mulia Berunsur Delapan? Pandangan Benar, Perniatan Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Kesadaran Benar, Konsentrasi Benar.”

ANDHAKAVINDA SUTTA

ANDHAKAVINDA SUTTA



Pada suatu ketika, Bhagavā sedang berada di Magadha, di Andhakavinda. Pada saat itu, Bhagavā sedang duduk di ruang terbuka, di malam hari, dan pada saat itu, turun hujan gerimis. Kemudian, pada larut malam, Brahmā Sahampati dengan cahanyanya menerangi seluruh Andhakavinda, menghampiri Bhagavā, memberi hormat kepadaNya, lalu berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, ia melantunkan syair- syair ini di hadapan Bhagavā,

“Seseorang sepatutnya menggunakan tempat tinggal terpencil,
Berlatih agar terbebas dari belenggu- belenggu.
Tetapi jika seseorang tidak bersemangat berlatih di sana,
Berjaga dan penuh perhatianlah, berdiam dalam Saṅgha."

SATTI SUTTA

SATTI SUTTA


Di Savatthi.

“Para bhikkhu, andaikan ada mata tombak besi, dan seorang manusia datang dan berkata, ‘Hanya dengan tangan kosong dan tinju, aku akan membelokkan mata tombak besi ini, melipatnya, dan menggulungnya.’ Bagaimana pendapat kalian? Apakah manusia itu dengan tangan kosong dan tinju dapat membelokkan mata tombak besi, melipatnya, dan menggulungnya?”

“Tidak dapat, Bhante. Mengapa demikian? Karena mata tombak besi tidaklah mudah untuk dibelokkan, dilipat, dan digulung. Manusia itu hanya akan jatuh dalam masalah dan kejengkelan.”

“Para bhikkhu, demikian juga, seseorang bhikkhu memiliki kesadaran yang terbebas melalui perniatan baik, diolah, dikembangkan, dicapai, digenggam dengan baik, menjadi dasar, dikokohkan, dan dijaga dengan baik, raksasa atau makhluk lain yang berpikir dapat menguasai pikiran bhikkhu itu akan jatuh dalam masalah dan kejengkelan.”

“Demikianlah kalian sepatutnya melatih diri, ‘Kesadaran kita yang terbebas melalui perniatan baik, akan diolah, dikembangkan, dicapai, digenggam dengan baik, menjadi dasar, dikokohkan, dan dijaga dengan baik. Demikianlah kalian sepatutnya melatih diri.

Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, Nidana Vagga, Opamma Samyutta, Pathama Vagga, Satti Sutta (SN 20. 5)

DHANUGGAHA SUTTA

DHANUGGAHA SUTTA


Di Savatthi.

“Para Bhikkhu, andaikan ada empat pemanah yang kuat, terlatih baik, dengan tangan yang mahir, dan handal, berdiri di keempat penjuru. Kemudian seseorang datang dan berkata, ‘Aku akan menangkap dan mengumpulkan anak panah yang dilepaskan oleh keempat pemanah yang kuat, terlatih baik, dengan tangan yang mahir, dan handal, sebelum anak panah itu jatuh ke tanah.’ Bagaimana pendapat kalian? Apakah dengan demikian, ia dapat dikatakan sebagai manusia yang cepat, memiliki kecepatan yang paling hebat?”

BUDDHAVANDANA SUTTA

BUDDHAVANDANA SUTTA


Di Sāvatthī. Pada saat itu, Bhagavā sedang berada dalam keheningan pada siang hari. Kemudian Sakka, raja para dewa, dan Brahmā Sahampati mendekati Sang Bhagavā dan masing- masing berdiri di depan pintu. Kemudian Sakka, raja para deva melantunkan syair ini di hadapan Bhagavā,

“Bangunlah, Oh, Pahlawan, pemenang dalam pertempuran!
Yang tanpa beban, yang bebas dari hutang, mengembaralah di dunia.
BatinMu bebas dengan sempurna,
Bagaikan bulan pada malam tanggal lima belas.”

Kemudian Brahmā Sahampati berkata, “Bukan demikian caranya Tathāgata dihormati, raja para dewa. Tathāgata dihormati dengan cara seperti ini,

“Bangunlah, Oh, Pahlawan, pemenang dalam pertempuran!
Oh, Pemimpin rombongan, yang bebas dari hutang, mengembaralah di dunia.
Ajarkanlah Dhamma, Oh, Bhagavā,
Akan ada orang- orang yang mampu memahami Dhamma.”

Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, Sagatha Vagga, Sakka Samyutta, Sattavata Vagga, Buddhavandana Sutta (SN 11. 17)

CANDIMA SUTTA

CANDIMA SUTTA


Di Sāvatthī. Pada saat itu, dewa putra yang tinggal di bulan, Candimā, telah ditangkap oleh Rāhu, raja para asura. Kemudian, dengan merenungkan Sang Buddha, dewa muda Candimā pada kesempatan itu melantunkan bait demikian,

“Hormat kepadaMu, Buddha!
Pahlawan, Engkau terbebaskan di mana pun juga.
Aku telah menjadi tawanan,
Karena itu, mohon jadilah perlindunganku.”

Kemudian, dengan merujuk pada dewa putra Candimā, Sang Bhagavā berkata kepada Rāhu, raja para asura, dalam bait,

Thursday 17 December 2015

Meditasi vs Multitasking

Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang selalu multitasking tak bisa menjaga fokus, bahkan di saat mereka mematikan semua gawai. Berlatih meditasi bisa menjadi obatnya.

“Mereka yang selalu bekerja multitasking tak bisa menyaring hal-hal yang tak relevan,” demikian peneliti Stanford, Clifford Nass pada NPR saat menunjukkan bagaimana laboratoriumnya membedakan “pengidap” multitasking berat dan yang kasual. “Pikiran mereka terbelah-belah secara kronis. Mereka memicu sebagian besar dari otak mereka memikirkan hal-hal tak relevan pada tugas yang diemban.”

Seperti disebutkan tadi, melakukan tugas ganda (multitasking) seperti menonton televisi kabel: Anda menyaksikan seorang atau lebih komentator berbicara bersama dan dalam waktu bersamaan, Anda juga membaca teks berjalan skor pertandingan yang tak berkesudahan, serta informasi breaking news. Saat digempur dengan banyak informasi sekaligus, Anda hanya bisa mencerna sedikit. Sebab Anda tak bisa menyaring antara apa yang perlu diperhatikan dan tidak. Fokus Anda akan terbagi-bagi antara komentator yang sedang berbicara dan teks berjalan, seperti kita membagi perhatian antara dokumen pekerjaan, telepon, musik, dan internet sepanjang hari.

Bagian mengerikannya adalah kebiasaan fokus yang terpecah-pecah ini terbawa hingga saat mereka tak sedang menyalakan gawai.

Penderitaan dan Kebahagiaan di Mata Ajahn Brahm

Malam itu, Kamis (3/12) adalah malam yang spesial. Mengapa demikian? Karena malam itu saya mendapatkan karma baik untuk bisa mendengarkan ceramah Dhamma yang dibawakan oleh bhikkhu selebriti, Ajahn Brahm. Oleh sebab itu, meskipun saat itu hujan turun rintik-rintik namun tidak menyurutkan semangat saya dan juga ratusan orang lain untuk menuju ke Singapore Conference Hall, tempat di mana acara spesial tersebut diadakan. Bodhinyana Singapore sebagai penyelenggara mengharuskan para peserta untuk mendaftar terlebih dahulu dan menebus tiket masuk seharga S$10 di pintu masuk.

Ketika saya tiba, ruangan sudah hampir penuh sehingga saya pun harus susah payah mencari tempat duduk. Akhirnya saya berhasil mendapatkan tempat duduk di posisi agak tengah bagian belakang. Saya memperhatikan sekeliling saya bahwa ruangan berkapasitas kurang lebih 1000 tempat duduk tersebut hampir semuanya terisi penuh. Hal ini sangat luar biasa mengingat waktu menunjukkan pukul 07.30 waktu Singapura, waktu di mana orang lelah dan lapar setelah pulang kerja.

Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Buddha Setelah Lulus Didorong untuk Kembali ke Daerah Asal

Minggu (13/12), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda mengadakan Sangha Dana. Selain mahasiswa Nalanda, acara ini juga dihadiri oleh mahasiswa dari STAB Maha Prajna, mahasiwa STABN Sriwijaya, Kesatuan Mahasiswa Hindu Buddha (KMHB) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI), Ikatan Alumni Nalanda (ILUNA), dan juga umat Buddha dari berbagai wilayah di Jakarta Timur.

Tak heran jika Sangha Dana kali ini terbilang istimewa. “Meskipun sudah agak terlambat dan dilaksanakan dengan penuh kesahajaan, saya rasa ini adalah perayaan Sangha Dana yang paling elit, karena apa? Karena acara ini dihadiri oleh para cendekiawan Buddhis,” ujar Sutrisno, pembantu ketua 1 bidang akademik Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda merujuk pada banyaknya mahasiswa dari berbagai kampus atau organisasi.

Dhamma yang Indah Adalah DHamma yang Dijalankan Oleh Bhikkhu Uttamo

Sering kita mendengar, “Dhamma yang indah di awal, pertengahan, dan akhir.” Seperti apakah Dhamma yang indah itu? Bhikkhu Uttamo memberikan penjelasan di mana letak keindahan Dhamma di Vihara Dharma Suci, Pantai Indah Kapuk, Jakarta pada Minggu sore (13/12).

“Dhamma yang indah? Orang kalau ditanya soal yang indah-indah ini cenderung jadi promosi. Misalnya kita jualan sandal ataupun yang lainnya, kita selalu bilang produk kita yang paling baik. Maka dulu ada istilah kecap selalu nomor 1,” Bhante Uttamo memulai uraiannya.

Bhante melanjutkan, “Kenapa tidak ada ya yang bilang sandalnya nomor 2? Ga ada. Adanya sandal nomor 40.”

Dan jika dia ditanya apa keistimewaan sandal itu, dia akan promosi beli 1 dapat 1. “Beli yang kiri dapat yang kanan,” cetus Bhante yang disambut gelak tawa hadirin.

Lalu, bagaimana dengan Dhamma? Apakah punya keistimewaan? “Adanya malah kekurangan. Kekurangan rambut. Makin banyak belajar Dhamma makin lama makin berkurang rambut kita. Kumpul-kumpul dengan Bhante lama-lama rambutnya makin berkurang, ikut-ikut jadi Bhante,” Bhante berseloroh.

Wednesday 16 December 2015

CHETVA SUTTA

CHETVA SUTTA


Dengan berdiri di satu sisi, Sesosok dewa membawakan syair berikut kepada Bhagavā, 

“Setelah membunuh apakah seseorang tidur dengan nyenyak?
Setelah membunuh apakah seseorang tidak bersedih?
Apakah satu hal ini, Oh, Gotama,
Pembunuhan yang Engkau setujui?”

Bhagavā membalas dengan syair demikian,

“Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan nyenyak,
Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih,
Pembunuhan kemarahanlah,
Dengan akarnya yang beracun dan pucuknya yang bermadu,
Inilah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia,
Karena setelah membunuhnya, seseorang tidak bersedih.”

Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, Sagatha Vagga, Devata Samyutta, Chetva Vagga, Chetva Sutta (SN 1. 71)

KHANDA SUTTA

KHANDA SUTTA


Di Savatthi.

“Para bhikkhu, bentuk adalah tidak pasti, dapat berubah, dapat bertukar.

Perasaan adalah tidak pasti, dapat berubah, dapat bertukar.

Persepsi adalah tidak pasti, dapat berubah, dapat bertukar.

Bentukan kehendak adalah tidak pasti, dapat berubah, dapat bertukar.

Kesadaran adalah tidak pasti, dapat berubah, dapat bertukar.”

VATAPADA SUTTA

VATAPADA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar.

Pada suatu ketika Bhagava menetap di dekat Savathi, di Anathapindika Arama, di Hutan Jeta, Beliau berkata, “Para bhikkhu, di masa lampau, ketika Sakka, raja para dewa, adalah seorang manusia, ia mengambil tujuh sumpah yang dengan memenuhinya ia memperoleh status sebagai Sakka. Apakah ketujuh sumpah itu?”

“ ‘Seumur hidupku, aku akan menyokong orang tuaku.’


’Seumur hidupku, aku akan menghormati saudara- saudara tuaku.’

’Seumur hidupku, aku akan berbicara dengan lembut.’

’Seumur hidupku, aku tidak akan berbicara yang bersifat memecah belah.’

OKKHA SUTTA

OKKHA SUTTA


Di Savatthi. 

“Para bhikkhu, jika seseorang memberikan seratus mangkuk makanan sebagai dana di pagi hari, seratus mangkuk makanan sebagai dana di siang hari, dan seratus mangkuk makanan sebagai dana di malam hari, kemudian jika seseorang mengembangkan pikiran cinta kasih bahkan hanya selama waktu yang diperlukan untuk satu tarikan dalam memerah susu sapi, di pagi hari, di siang siang hari, dan malam hari, hal yang kedua adalah lebih bermanfaat daripada hal yang pertama.”

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut,

‘Kami akan mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan kami, menjadikannya sebagai landasan kami, mengkokohkannya, melatih diri kami di dalamnya, dan menyempurnakannya.’

Demikianlah kalian harus berlatih.”

Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, Nidana Vagga, Opamma Samyutta, Pathama Vagga, Okkha Sutta (SN 20. 4)

ANURUDDHA SUTTA

ANURUDDHA SUTTA


Pada suatu ketika, Yang Mulia Anuruddha sedang berdiam di suatu hutan di negeri Kosala.
Kemudian satu dewa dari Tavatimsa bernama Jàlini, mantan istri Yang Mulia Anuruddha, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair,

“Arahkan pikiranmu ke sana,
Di mana engkau berdiam di masa lampau
Di alam surga Tavatimsa
Bagi para dewa Tavatimsa, keinginan terpenuhi.
Engkau akan bersinar,
Dihormati dan dikelilingi oleh para bidadari surgawi.”

Anuruddha berkata,

OGHATARANA SUTTA

OGHATARANA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, sesosok dewi, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendekati Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia bersujud kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau, 

“Yang Mulia, Bagaimanakah Engkau menyeberangi banjir?”

“Dengan tidak berhenti, Sahabat, dan dengan tidak mendorong, Aku menyeberangi banjir.”

“Tetapi, Yang Mulia, bagaimanakah dengan tidak berhenti dan tidak mendorong, Engkau menyeberangi banjir?”

BRAHMADEVA SUTTA

BRAHMADEVA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar.

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapindika.

Pada saat itu, seorang brahmana perempuan memiliki seorang putra bernama Brahmadeva yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dengan bimbingan Sang Bhagavā.

Kemudian, Yang Mulia Brahmadeva, berdiam sendiri, menarik diri dari keramaian, tekun, rajin, dan teguh, menembus pengetahuan langsung oleh dirinya sendiri. Seorang baik yang meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, tujuan yang mulia dan tiada bandingnya dari kehidupan suci, olehnya dalam kehidupan ini juga, telah dicapai, disadari dan didiami.

DUTIYAMARAPASA SUTTA

DUTIYAMARAPASA SUTTA


Demikianlah yang Kudengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārānasī, di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata demikian,

“Para bhikkhu, Aku telah terbebas dari segala jerat, baik surgawi maupun manusiawi. Kalian juga, para bhikkhu, telah terbebas dari segala jerat, baik surgawi maupun manusiawi. Mengembaralah, O, Para bhikkhu, demi manfaat banyak makhluk, demi kesejahteraan banyak makhluk,demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, manfaat, dan kesejahteraan para dewa dan manusia. Janganlah dua dari kalian pergi dalam jalan yang sama. O, Para bhikkhu, ajarkanlah Dhamma yang indah pada awal, indah pada pertengahan, dan indah pada akhir, dalam semangat dan maknanya. Ungkapkanlah kehidupan suci yang sempurna dan murni. Ada makhluk- makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang akan jatuh bila mereka tidak mendengarkan Dhamma. Ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma. Aku juga, Para bhikkhu, akan pergi ke Senānigama, di Uruvelā untuk mengajarkan Dhamma.”

DAHARA SUTTA

DAHARA SUTTA


Demikianlah yang Kudengar. 

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapindika. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Setelah melakukan ramah tamah, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā,

“Apakah Yang Mulia Gotama menyatakan, ‘aku telah tersadar hingga Penerangan Sempurna yang tanpa bandingnya’?”

“Jika, Baginda, seseorang dapat mengatakan dengan benar tentang seseorang lain, ‘Ia telah tersadar hingga Penerangan Sempurna yang tanpa bandingnya,’ terhadap Akulah orang itu dapat mengatakan hal ini dengan benar. Karena Aku, Baginda, telah tersadar hingga Penerangan Sempurna yang tanpa bandingnya.”

MATA SUTTA

MATA SUTTA


Di Sāvatthi. Sang Bhagava berkata, “Para bhikkhu, siklus kehidupan ini adalah tanpa awal yang diketahui. Tidak terlihat awal dari makhluk hidup yang terus menerus berkelana dan mengembara karena terhalang oleh kegelapan batin serta terbelenggu oleh nafsu keinginan. Para bhikkhu, sungguh sulit untuk menemukan makhluk yang belum pernah menjadi ibumu di kehidupan- kehidupan lampau.”

“Mengapa demikian?"

"Para bhikkhu, siklus kehidupan ini adalah tanpa awal yang diketahui. Tidak terlihat awal dari makhluk hidup yang terus menerus berkelana dan mengembara karena terhalang oleh kegelapan batin serta terbelenggu oleh nafsu keinginan. Sedemikian lamanya kalian mengalami penderitaan, kesedihan, dan bencana, serta memenuhi perkuburan. Cukuplah sudah agar kalian tak lagi tertarik dengan segala bentukan, cukuplah sudah agar kalian tak terpikat terhadapnya, cukuplah sudah untuk terbebas darinya.”

Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, Nidana Vagga, Anamatagga Samyutta, Duggata Vagga, Mata Sutta (SN 15. 14)

ATTARAKKHITA SUTTA

ATTARAKKHITA SUTTA


Di Sāvatthī. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā, “Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sendirian dalam pengasingan, sebuah perenungan muncul dalam pikiranku, ‘Siapakah sekarang yang melindungi diri mereka dan siapakah yang membiarkan diri mereka tanpa perlindungan?’ Kemudian, Yang Mulia, aku berpikir, ‘Mereka yang melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan dan perbuatan buruk melalui pikiran membiarkan diri mereka tanpa perlindungan. Walaupun bahkan sekelompok pasukan gajah melindungi mereka. Atau sekelompok prajurit berkuda, atau sekelompok prajurit kereta, atau sekelompok prajurit infantri, namun mereka tetap tidak terlindungi. Megapa demikian? Karena perlindungan itu adalah eksternal, bukan pelindungan internal. Oleh karena itu, mereka membiarkan diri mereka tanpa perlindungan. Akan tetapi, mereka yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran, melindungi diri mereka. Walaupun tanpa perlindungan sekelompok pasukan gajah, atau sekelompok prajurit berkuda, atau sekelompok prajurit kereta, atau sekelompok prajurit infantri, namun mereka terlindungi. Mengapa demikian? Karena perlindungan itu adalah internal, bukan perlindungan eksternal, oleh karena itu, mereka melindungi diri mereka.’” 

Tuesday 15 December 2015

MALLIKA SUTTA

MALLIKA SUTTA


Suatu ketika Sang Bhagavā sedang di Sāvatthī. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala bersama dengan Ratu Mallikā di teras atas istana. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Ratu Mallikā, “Adakah, Mallikā, seseorang yang lebih engkau sayangi daripada dirimu sendiri?”

“Tidak ada, Baginda, orang yang lebih ku sayangi daripada diriku sendiri. Dan adakah, Baginda, orang yang lebih engkau sayangi daripada dirimu sendiri?”

“Bagiku juga, Mallikā, tidak ada orang yang lebih ku sayangi daripada diriku sendiri.”

PACCHABHUMIKA SUTTA

PACCHABHUMIKA SUTTA


Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Nālandā di Hutan Mangga milik Pāvārika. Kemudian Asibandhakaputta sang kepala desa menemui Sang Bhagavā, memberi hormat kepadaNya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadaNya: “Yang Mulia, para brahmana dari negeri barat, yang membawa- bawa kendi air, mengenakan kalung terbuat dari tanaman air, menyelam ke dalam air, dan menyembah api suci, dikatakan mengarahkan jiwa orang mati ke atas, menuntunnya, dan mengirimkannya ke surga. Tetapi Sang Bhagavā, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sempurna, mampu menyebabkan, pada saat hancurnya jasmani, setelah kematian, seluruh dunia akan terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.”

VANAROPA SUTTA

VANAROPA SUTTA


“Bagi siapakah jasa selalu meningkat,
Pada siang dan malam hari?
Siapakah orang- orang yang menuju ke alam bahagia,
Hidup kokoh dalam Dhamma, memiliki moralitas?”

“Mereka yang membangun taman atau hutan,
Mereka yang membangun jembatan,
Mereka yang membangun tempat untuk minum dan sumur,
Mereka yang memberikan tempat tinggal.”

“Bagi mereka, jasa selalu meningkat,
Pada siang dan malam hari.
Mereka adalah orang- orang yang menuju ke alam bahagia,
Hidup kokoh dalam Dhamma, memiliki moralitas.”

Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, Sagatha Vagga, Devata Samyutta, Aditta Vagga, Vanaropa Sutta (SN 1. 47)

SIVA SUTTA

SIVA SUTTA


Demikianlah yang telah Kudengar. 

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anathapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, dewa muda bernama Siva dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendekati Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan melantunkan syair- syair ini di hadapan Sang Bhagavā.

“Seseorang harus bergaul hanya dengan mereka yang baik,
Dengan mereka yang baik seharusnya menjalin keakraban.
Setelah mempelajari Dhamma sejati yang baik,
Seseorang menjadi lebih baik, tidak mungkin lebih buruk.”

PIYA SUTTA

PIYA SUTTA


Di Sāvatthī. Sembari duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sendirian dalam penyepian, sebuah perenungan muncul dalam pikiranku, ‘Siapakah sekarang yang memperlakukan diri mereka sebagai kekasih, dan siapakah yang memperlakukan diri mereka sebagai musuh?’ Kemudian, Yang Mulia, aku berpikir, ‘Mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan buruk melalui perbuatan, ucapan, dan pikiran memperlakukan diri mereka sebagai musuh. Bahkan walaupun mereka mungkin mengatakan, “Kami menganggap diri kami sebagai kekasih,” namun mereka memperlakukan diri mereka sebagai musuh. Mengapa demikian? Karena atas kehendak mereka sendiri, mereka memperlakukan diri mereka dengan cara yang sama seperti seseorang memperlakukan orang yang ia musuhi, oleh karena itu, mereka memperlakukan diri mereka sebagai musuh. Tetapi mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran memperlakukan diri mereka sebagai kekasih. Bahkan walaupun mereka mungkin mengatakan, “Kami menganggap diri kami sebagai musuh,” namun mereka memperlakukan diri mereka sebagai kekasih. Mengapa demikian? Karena atas kehendak mereka sendiri, mereka memperlakukan diri mereka dengan cara yang sama seperti seseorang memperlakukan orang yang ia kasihi, oleh karena itu, mereka memperlakukan diri mereka sebagai kekasih.’”

MAHASALA SUTTA

MAHASALA SUTTA


Di Sāvatthī. Ada seorang brahmana kaya raya, dengan lusuh, berpakaian jubah using, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah menutup sapaan dan ramah tamah, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Mengapa, Brahmana, engkau begitu lusuh, berpakaian jubah usang?”

“Guru Gotama, keempat putraku, telah dihasut oleh istri mereka, telah mengusirku dari rumah.”

“Baiklah, Brahmana, pelajarilah syair ini dan lantunkanlah ketika banyak orang telah berkumpul di aula pertemuan dengan putra- putramu duduk bersama di sana:

BRAHMALOKA SUTTA

BRAHMALOKA SUTTA


Di Sāvatthī, pada saat itu, Sang Bhagavā sedang melewatkan siang dan sedang bersamādhi (meditasi). Kemudian brahmā bernama Subrahmā dan Suddhavāsa mendekat Sang Bhagavā, dan masing-masing berdiri di satu tiang pintu. Kemudian brahmā Subrahmā berkata kepada brahmā Suddhāvāsa: “Ini bukanlah waktu yang tepat, Teman, untuk mengunjungi Sang Bhagavā. Sang Bhagavā sedang melewatkan siang dan sedang bersamādhi. Alam-alam brahmā tertentu adalah kaya dan makmur, dan ada brahmā di sana yang berdiam dalam kelengahan. Mari, Teman, marilah kita pergi ke alam brahmā itu dan membangkitkan pandangan benar dalam diri brahmā itu.”

“Baiklah, Teman,” brahmā mandiri Suddhāvāsa menjawab.

ANATTALAKKHANA SUTTA

ANATTALAKKHANA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar. 

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu: “Para bhikkhu.”

“Yang Mulia.” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bentuk adalah bukan diri. Karena jika, para bhikkhu, bentuk adalah diri, maka bentuk tidak akan menyebabkan penderitaan, dan adalah mungkin untuk mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘biarlah bentukku seperti ini, biarlah bentukku tidak seperti ini.’ Tetapi karena bentuk adalah bukan diri, maka bentuk menyebabkan penderitaan, dan adalah tidak mungkin mengatakan sehubungan dengan bentuk: ‘biarlah bentukku seperti ini, biarlah bentukku tidak seperti ini.’

AYACANA SUTTA

AYACANA SUTTA


Demikianlah yang telah Ku dengar. 

Pada suatu ketika, sewaktu Sang Bhagava baru saja mencapai Pencerahan Sempurna, beliau tinggal di Uruvela di tepi sungai Neranjara, di kaki pohon Banyan Gembala Kambing. Kemudian, tatkala beliau sedang sendirian dan dalam penyepian, jalan pikiran ini muncul dalam benak beliau: "Dhamma yang telah kucapai ini dalam, sulit untuk dilihat, sulit untuk disadari, damai, halus, melampaui jangkauan penalaran, lembut,untuk dialami oleh orang bijak. Namun generasi ini bergembira dalam kemelekatan, bergairah oleh kemelekatan, menyenangi kemelekatan. Bagi sebuah generasi yang bergembira dalam kemelekatan, bergairah oleh kemelekatan, menyenangi kemelekatan, kebersebaban ini/itu dan kemunculan bersyarat (paticcasamuppada) sulit untuk dilihat. Keadaan ini pun sulit untuk dilihat: diamnya semua kondisi, lepasnya segala keberadaan, lenyapnya kehausan, tiadanya nafsu, penghentian, Nibbana. Dan bila aku mengajarkan Dhamma dan bila orang-orang lain tidak mampu mengerti, itu akan melelahkanku, menyulitkanku."

DHAMMACAKKAPPAVATTANA SUTTA

DHAMMACAKKAPPAVATTANA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā bersemayam di dekat kota Benares, di Taman Rusa Isipatana (Migadāya). Di sana, Sang Bhagavā bersabda kepada rombongan lima orang bhikkhu (Assajji, Vappa, Bhadiya, Koṇḍanna, Mahānama), demikian:

“Dua hal yang berlebihan (ekstrim) ini, O, para Bhikkhu, tidak patut dijalankan oleh mereka yang telah meninggalkan rumah untuk menempuh kehidupan tak berkeluarga, apakah dua ini?”

“Menuruti kesenangan nafsu indria yang rendah, yang tidak berharga dan tidak berfaedah, kasar, duniawi, atau melakukan penyiksaan diri, yang menyakitkan, tidak berharga dan tidak berfaedah.

Monday 14 December 2015

SABBASAVA SUTTA

SABBASAVA SUTTA


Demikian yang Ku dengar.

Pada suatu ketika Bhagava tinggal di Jetavana, Arama Anathapindika, Savathi. Di sana Beliau menyapa para Bhikkhu, "Para bhikkhu."

"Ya, Bhante," jawab mereka.

Selanjutnya Sang Bhagava berkata sebagai berikut, "Para bhikkhu, aku akan menerangkan kepada kalian tentang noda batin, dengar dan perhatikan baik- baik apa yang kukatakan."

"Baiklah, Bhante," jawab mereka.

Lalu Sang Bhagava berkata, "Para bhikkhu. Kukatakan bahwa noda batin itu akan terhenti pada diri seseorang yang mengerti dan melihat, bukan pada diri seseorang yang tidak mengerti dan tidak melihat.”

DHAMMADAYADA SUTTA

DHAMMADAYADA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar.

Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Arama Anathapindika, di Savatthi.

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu, “Para Bhikkhu.”

“Ya, Bhante,” jawab para bhikkhu.

“Bhikkhu jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam materi. Jika kalian menjadi pewarisKu dalam materi, bukan pewarisKu dalam Dhamma, maka kalian akan menjadi contoh demikian, ‘Siswa Agung menjadi pewaris dalam materi, bukan pewaris dalam Dhamma.’ Dan Saya akan menjadi contoh demikian, ‘Guru agung mewarisi SiswaNya dalam materi, bukan dalam Dhamma.’ Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam materi, maka kalian akan menjadi contoh demikian, ‘Siswa Agung menjadi pewaris dalam Dhamma, bukan pewaris dalam materi.’ Bagaimana para siswaKu menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam materi?

ISIGILI SUTTA

ISIGILI SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar. 

Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Rajagaha, di Isigili (Kerongkongan Para Penglihat). Di sana Beliau berbicara kepada para bhikkhu demikian,"Para bhikkhu."

“Bhante," jawab mereka.

Yang Terberkahi menyampaikan hal ini,
"Apakah kalian melihat, para bhikkhu, gunung Vebhara itu?”

"Ya, Bhante."

“Dahulu ada nama lain, penunjukan lain, untuk gunung Vebhara itu. Apakah kalian melihat, para bhikkhu, gunung Pandava itu?”

“Ya, Bhante."

CULAMALUNKYA SUTTA

CULAMALUNKYA SUTTA


Demikian yang Ku dengar.
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, taman Anathapindika, Savatthi.

Pada suatu ketika bhikkhu Malunkyaputta sedang bermeditasi dan muncul tentang: Sang Bhagava tidak menerangkan hal- hal ini, ‘Dunia kekal’, ‘Dunia tidak kekal’, ‘Dunia terbatas’, ‘Dunia tak terbatas’,‘Jiwa sama dengan jasmani’, ‘Jiwa tidak sama dengan jasmani’, ‘Setelah parinibbana, Tathagata ada’, ‘Setelah parinibbana, Tathagata tidak ada’, ‘Setelah parinibbana, Tathagata ada dan tidak ada’, atau ‘Setelah parinibbana, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada’.

Saya akan menanyakan hal- hal ini kepada Sang Bhagava. Jika, Sang Bhagava menerangkan bahwa ‘Dunia kekal’, ‘Dunia tidak kekal’, ‘Dunia terbatas’, ‘Dunia tak terbatas’, ‘Jiwa sama dengan jasmani’, ‘Jiwa tidak sama dengan jasmani’, ‘Setelah parinibbana, Tathagata ada’, ‘Setelah parinibbana, Tathagata tidak ada’, ‘Setelah parinibbana, Tathagata ada dan tidak ada’, atau ‘Setelah parinibbana, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada’, maka saya akan tetap melaksanakan penghidupan suci di bawah bimbingan beliau.

PIYAJATIKA SUTTA

PIYAJATIKA SUTTA


Demikian yang telah Ku dengar.
Pada suatu ketika, Sang Bhagava tinggal Savatthi, di hutan Jeta, di Taman Anathapindika.

Pada waktu itu seorang anak, satu-satunya, yang dicintai oleh ayahnya meninggal dunia. Setelah anak laki- lakinya meninggal, ia tidak memberikan perhatian kepada pekerjaannya dan makanannya. Ia pergi ke kuburan anaknya dan menangis: “Anakku satu- satunya, di mana kamu? Anakku satu- satunya, di mana kamu?”

Kemudian ia pergi kepada Sang Bhagava, dan setelah memberi hormat kepada-Nya, ia duduk di salah satu sisi. Setelah ia duduk, Sang Bhagava berkata kepadanya: “Perumah tangga, kemampuanmu kelihatannya seperti kemampuan mereka yang kehilangan ingatan. Kemampuanmu dalam keadaan yang tidak normal.”

SAMMADITTHI SUTTA

SAMMADITTHI SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Anathapindika Arama, Savatthi. Bhikkhu Sariputta menyapa para bhikkhu: “Para bhikkhu.”
“Avuso,” jawab mereka. Bhikkhu Sariputta berkata:
“Para avuso mengatakan, ‘Seseorang berpandangan benar’. Dalam cara apa siswa ariya berpandangan benar, berpandangan lurus dan memiliki keyakinan yang sempurna pada Dhamma serta hidup sesuai dengan dhamma.”
“Memang, kami datang dari jauh untuk belajar dari Bhikkhu Sariputta. Setelah mendengarkan Dhamma ini, para bhikkhu akan mengingatnya.”
“Para avuso, dengar dan perhatikanlah baik-baik apa yang akan saya sampaikan.”
Para bhikkhu menjawab: “Baiklah avuso.”

BHADDEKARATTA SUTTA

BHADDEKARATTA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar.
Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berada di Jetavana,
Anathapindika Arama, Savatthi. Di sana Sang Bhagava berkata
kepada para bhikkhu: "Para bhikkhu."

"Ya, Bhante," jawab mereka.

Sang Bhagava berkata:

"Bhikkhu, aku akan mengajarkan pada kalian ringkasan dan pemaparan bagaimana seseorang menggunakan hari dengan baik (hari keberuntungan). “
"Baiklah, Bhante," jawab para bhikkhu

DAKKHINAVIBHANGA SUTTA

DAKKHINAVIBHANGA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di vihara Nigrodharama di Kapilavatthu di kerajaan Sakya. Pada kesempatan tersebut, Maha Pajapati Gotami, dengan membawakan sepasang jubah baru bersamanya, mendekati Sang Bhagava, memberikan penghormatan kepada Beliau, dan duduk di tempat yang sesuai. Setelah duduk, ia berkata kepada Sang Bhagava demikian:

“Yang Mulia, saya telah memintal (benang) dan menenun sendiri pasangan jubah baru ini, yang diperuntukkan bagi Sang Bhagava. Yang Mulia, semoga Sang Bhagava, karena belas kasih, menerima sepasang jubah baru dari saya ini.” Ketika diminta demikian, Sang Bhagava berkata kepada Maha Pajapati Gotami demikian: “Gotami, persembahkanlah kepada Sangha. Dengan mempersembahkannya kepada Sangha, kamu telah menghormatiKu dan Sangha.”

VAMMIKA SUTTA

VAMMIKA SUTTA


Demikian yang Ku dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi Di Hutan Jeta. Taman Anathapindika. Pada kesempatan itu, Y.M. Kumara Kassapa sedang berdiam di Hutan Manusia Buta.

Kemudian, ketika malam telah larut, satu dewa dengan penampilan elok yang menyinari seluruh Hutan Manusia Buta mendekati Y.M. Kumara Kassapa dan berdiri di satu sisi. Dengan berdiri, dewa itu berkata kepada beliau:

“Bhikkhu, bhikkhu, bukit-semut ini berasap pada malam hari dan menyala pada siang hari.

“Demikian kata brahmana itu: ‘Selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Setelah menyelidiki dengan pisau, yang bijaksana melihat suatu batang. ‘Suatu batang, Oh Yang Mulia Bhante.’

ANGULIMALA SUTTA

ANGULIMALA SUTTA


Demikian yang telah Ku dengar,
Pada suatu ketika Sang Buddha berdiam di Vihara Jetavana miliki Anatha­pindika, dekat Kota Savatthi.
Pada waktu itu, di kerajaan Raja Pasenadi dari Kosala, ada seorang penjahat bernama Angulimala yang kejam, tangannya berlumuran darah, merampok dan membunuh manusia, dan tidak menaruh belas kasihan kepada makhluk hidup. Karena dia, desa-desa, kecamatan-kecamatan, dan kota-kota diporak-porandakan. Dia membunuh orang-orang dan membuat kalung dari jari orang-orang itu dan memakainya.

Sunday 13 December 2015

BHOJAJANIYA JATAKA

BHOJAJANIYA JATAKA


Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam pelatihan dirinya. Saat menegur bhikkhu itu, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, di kehidupan yang lampau, Ia yang bijaksana dan tekun dalam melakukan kebajikan, meskipun berada di tengah kepungan musuh dan dalam keadaan terluka, tetap tidak menyerah.”

Setelah mengucapkan kata- kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Suatu ketika, Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kuda Sindhu (Sindhavā) keturunan murni. Ia merupakan kuda utama kerajaan, yang dikelilingi oleh kemegahan dan kebesaran. Makanannya berupa beras usia tiga tahun yang sangat halus, disajikan dalam mangkuk emas yang bernilai uang seratus ribu keping, lantai istalnya diberi wewangian dengan empat keharuman yang berbeda. Tirai merah tua tergantung di sekeliling dinding istalnya, sementara di atas istal itu, terdapat sebuah langit- langit yang bertaburkan bintang-bintang emas. Dindingnya dihiasi dengan rangkaian dan untaian bunga yang wangi, dan sebuah lampu dengan minyak yang beraroma selalu menyala di sana.

KATTHAHARI JATAKA

KATTHAHARI JATAKA


Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, mengenai Vāsabha-Khattiyā. Menurut cerita secara turun temurun, ia adalah putri dari Mahānāma Sakka dengan seorang pelayan wanita bernama Nāgamuṇḍā; ia kemudian menjadi istri Raja Kosala. Saat ia sedang mengandung putra dari raja, raja yang baru mengetahui tentang asal usulnya yang rendah itu, menurunkan statusnya, demikian pula dengan status putranya, Viḍūḍabha. Ibu dan anak itu tidak pernah keluar dari istana.

Mendengar hal ini, pada subuh pagi hari, dengan diiringi oleh lima ratus orang bhikkhu, Sang Guru mengunjungi istana. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan untukNya dan berkata, “Tuan, dimanakah Vāsabha-Khattiyā?”

NANDIVISALA JATAKA

NANDIVISALA JATAKA


Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai kata-kata tidak enak (kasar) yang diucapkan oleh keenam bhikkhu. Saat berselisih dengan para bhikkhu yang terhormat, keenam bhikkhu ini selalu mencela, memaki dan mencemooh dengan sepuluh jenis kata- kata kasar. Hal ini disampaikan oleh para bhikkhu kepada Sang Bhagawan. Beliau kemudian mengundang mereka dan bertanya apakah tuduhan itu benar adanya. Saat mereka mengakui hal tersebut, Beliau menegur mereka dengan berkata, “Para Bhikkhu, kata- kata kasar bahkan bisa menyakiti hati hewan, di kehidupan yang lampau, seekor hewan membuat orang yang memakinya menderita kerugian seribu keping uang.” Setelah mengucapkan kata- kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

MATAKABHATTA JATAKA

MATAKABHATTA JATAKA


Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, mengenai (perayaan) makanan untuk orang- orang yang telah meninggal. Saat itu, para penduduk membunuh kambing, domba, hewan-hewan lainnya, dan mempersembahkan mereka dalam sebuah ritual yang disebut perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal demi keselamatan sanak keluarga mereka yang mereka tinggalkan. Melihat para penduduk sedang melaksanakan upacara tersebut, para bhikkhu bertanya kepada Sang Guru, “Bhante, barusan para penduduk membunuh sejumlah makhluk hidup dan mempersembahkan mereka dalam sebuah ritual yang disebut sebagai perayaan makanan untuk mereka yang telah meninggal. Dapatkah hal itu membawa kebaikan, Bhante?”

“Tidak, para Bhikkhu,” jawab Sang Guru, “pembunuhan yang dilakukan dengan tujuan mengadakan sebuah perayaan, tidak akan membawa kebaikan apa pun juga. Di kehidupan yang lampau, mereka yang bijaksana membabarkan Dhamma dengan melayang di udara, dan menunjukkan akibat buruk dari praktik yang salah itu, membuat semuanya meninggalkan praktik tersebut. Namun dewasa ini, saat pengaruh kelahiran sebelumnya telah mengacaukan pikiran mereka, praktik salah itu muncul kembali.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

MALUTA JATAKA

MALUTA JATAKA


Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, mengenai dua orang bhikkhu yang bergabung dalam Sanggha di usia tua. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, mereka tinggal di hutan Negeri Kosala. Satu bhikkhu bernama Thera Kāḷa (Gelap) dan satu lagi bernama Thera Juṇhā (Terang). Suatu hari Juṇhā bertanya kepada Kāḷa, “Bhante, kapankah saat dingin itu muncul?” “Saat awal bulan.” Di kesempatan yang lain, Kāḷa bertanya kepada Juṇhā, “Bhante, kapankah saat dingin itu muncul?” “Saat pertengahan bulan .”

Karena mereka berdua tidak dapat menyelesaikan hal tersebut, mereka menghadap Sang Guru, setelah memberikan penghormatan, mereka bertanya, “Bhante, kapankah saat dingin itu muncul?”

DHAMMACARIYA SUTTA

DHAMMACARIYA SUTTA


Jika orang meninggalkan kehidupan berumah tangga, menjadi pertapa dan menjalani kehidupan selibat dan murni; inilah permata yang paling berharga.

Tetapi jika secara alami dia terlalu banyak bicara, dan senang menyakiti yang lain secara kasar, kehidupan orang seperti ini menjadi tidak bermanfaat dan kekotoran batinnya meningkat.

Seorang bhikkhu yang senang bertengkar karena dikelabuhi kebodohan batin, sekalipun dijelaskan ia tak akan memahami ajaran yang dibabarkan Sang Buddha.

KIMSILA SUTTA

KIMSILA SUTTA


Yang Ariya Sariputta bertanya,

Orang dengan watak seperti apa, perilaku seperti apa, tindakan seperti apa, yang akan menjadi mantap sehingga mencapai kesejahteraan tertinggi?

Buddha Gotama berkata,

Dia adalah orang yang menghormat yang lebih tua; yang tidak iri hati, yang tahu saat yang tepat untuk menjumpai gurunya, yang tahu saat yang tepat untuk mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah-khotbah yang dibabarkan dengan baik oleh gurunya itu.

TUVATAKA SUTTA

TUVATAKA SUTTA


‘Penguasa kebijaksanaan, Putra Surya,’ kata seseorang kepada Sang Buddha. ‘Saya ingin mengajukan pertanyaan tentang keadaan damai, keadaan kesendirian, dan keadaan tidak melekat yang tenang. Pandangan terang yang bagaimanakah yang membuat seorang bhikkhu menjadi tenang, dingin dan tidak lagi serakah terhadap apa pun?’

‘Dia mencapai hal ini,’ jawab Sang Buddha, ‘dengan memotong penghalang akarnya, yaitu kebodohan: dia menghapus segala buah-pikir mengenai ‘aku’. Senantiasa penuh perhatian, dia melatih dirinya untuk melepas semua nafsu keinginan yang muncul di dalam dirinya.’

Apa pun yang mungkin dipahaminya di dalam atau di luar, dia harus menghindari menjadi sombong akan pendirian-pendiriannya. Orang baik-baik telah mengatakan bahwa ini bukanlah keadaan tenang.

ATTADANDA SUTTA

ATTADANDA SUTTA


Rasa takut muncul karena mengambil jalan kekerasan — lihat saja bagaimana orang-orang bertengkar dan berkelahi! Tetapi akan kujelaskan padamu sekarang tentang kecemasan dan teror yang telah kurasakan.

Melihat orang-orang meronta –bagaikan ikan yang menggelepar di air yang dangkal– dengan rasa saling bermusuhan, aku menjadi takut.

Pada suatu ketika, aku ingin mencari tempat untuk bernaung, tetapi tidak pernah kulihat tempat seperti itu. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang kokoh dasarnya, tak ada satu bagian pun darinya yang tidak berubah.

MUNI SUTTA

MUNI SUTTA


Rasa takut muncul karena keintiman. Nafsu indera terlahir dari kehidupan berumah-tangga. Karena itu, keadaan tak berumah dan ketidakmelekatan dihargai oleh para bijaksana.

Orang yang memotong kekotoran batin yang telah muncul dan tidak mau menanamnya lagi, serta yang tidak mau masuk ke dalam apa yang sedang tumbuh, dia disebut orang bijaksana yang berkelana sendiri. Guru agung itu telah melihat Keadaan Damai (Nibbana).

Setelah memeriksa tanah, setelah membuang benih dan tidak menyiramnya sehingga benih itu tidak tumbuh, setelah meninggalkan tipu muslihat, orang bijak yang telah melihat akhir kelahiran tidak dapat digambarkan menurut kategori secara pasti.

Saturday 12 December 2015

CULAPANTHAKA SUTTA

CULAPANTHAKA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Pada suatu ketika Bhagava sedang berada dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Culapanthaka duduk bersila tidak jauh dari Bhagava, menahan tubuhnya tegak, sesudah mengatur kewaspadaan sebelumnya.

UPASENA SUTTA

UPASENA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Pada suatu ketika Bhagava sedang berada di dekat Rajagaha, di hutan Bambu, di Tempat Pemberian Makan Tupai. Pada saat itu, sementara Yang Ariya Upasena Vangantaputta sedang bertapa, pikiran ini muncul dalam benaknya, “Keuntungan bagi saya, keuntungan yang besar bagi saya, bahwa guruku adalah Bhagava, Arahat, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, bahwa saya telah beralih dari keadaan berumah menuju keadaan yang tidak berumah dalam Dhamma yang telah dibabarkan dengan sempurna dan Vinaya ini, bahwa sesamaku dalam kehidupan suci ini berbudi luhur dan bertingkah laku baik, bahwa saya telah memenuhi keluhuran moral, bahwa saya terkendali dan terpusat dalam pikiran, bahwa saya seorang Arahat yang terbebas dari noda, bahwa saya mempunyai kemampuan dan kekuatan luar biasa yang besar. Beruntunglah kehidupan saya ini dan beruntung pula kematian saya!”

VISAKHA SUTTA

VISAKHA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Pada suatu saat Sang Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di Taman Timur, di rumah induk lbu Migara.

Pada saat itu, Visakha, Ibu Migara, sedang terlibat suatu urusan dengan Raja Pasenadi dari Kosala, dan raja ini tidak menyelesaikan urusan seperti yang dia inginkan. Jadi Visakha mendatangi Bhagava di tengah hari, bersujud dan duduk di satu sisi. Sementara duduk di sana, Bhagava berkata kepadanya, “Visakha, dari mana kamu di tengah hari ini ?”

UPASAKA SUTTA

UPASAKA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Pada suatu saat Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu seorang pengikut awam dari Icchanangala tiba di Savatthi karena suatu urusan. Kemudian setelah urusan di Savatthi selesai, pengikut awam mendekati Bhagava bersembah sujud, dan duduk di satu sisi. Ketika dia duduk di sana Bhagava berkata kepada pengikut awam tersebut, “Akhirnya, hai pengikut awam, engkau telah mendapat kesempatan untuk datang kemari”.

HUMHUNKA SUTTA

HUMHUNKA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Pada suatu saat Bhagava sedang tinggal di hutan Uruvela, di dekat sungai Neranjara, di bawah Pohon Beringin Gembala Kambing, beberapa saat setelah mencapai Penerangan Sempurnaa. Pada saat itu Bhagava duduk bermeditasi selama tujuh hari menikmati kebahagiaan dari Kebebasan. Kemudian ketika tujuh hari itu sudah berlalu, Bhagava berhenti bermeditasi.

KUMARAKA SUTTA

KUMARAKA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Pada suatu ketika Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu sejumlah anak- anak laki di daerah antara kota Savatthi dan Hutan Jeta sedang menyiksa ikan dalam kolam.

Kemudian Bhagava, sesudah mengenakan jubahnya sebelum siang hari dan membawa mangkuk dan jubah luar Nya, pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan dana makanan. Beliau melihat anak- anak itu di antara kota Savatthi dan Hutan Jeta sedang menyiksa ikan. Ketika melihat hal ini beliau mendekati anak- anak itu dan berkata: “Apakah kamu, anak- anak takut rasa sakit? Apakah kamu tidak suka rasa sakit?”

AJAKALAPAKA SUTTA

AJAKALAPAKA SUTTA


Demikinlah yang Ku dengar,

Suatu saat Bhagava sedang tinggal di Pava, di Vihara Ajakalapaka, tempat tinggal Yakkha Ajakalapaka. Pada saat itu Bhagava sedang duduk di udara terbuka di malam yang gelap gulita sementara hujan turun rintik- rintik. Kemudian Yakkha Ajakalapaka, karena ingin membuat takut dan kekacauan dalam diri Bhagava dan ingin membuat bulu kuduk beliau berdiri, mendekati Bhagava dan ketika sudah dekat meneriakkan 3 kali jeritan yang mengerikan membuat kekacauan yang besar, mengatakan,“Inilah setan bagimu, pertapa!

JATILA SUTTA

JATILA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Suatu saat Bhagava sedang tinggal di dekat Gaya, di bukit Gaya. Pada saat itu di malam musim dingin di periode antaratthaka di musim salju, banyak pertapa Jatila di Gaya menceburkan diri masuk dan keluar dari air, menyiramkan air ke tubuh mereka, dan melakukan penghormatan api, mereka berpikir, "dengan tindakan- tindakan ini, kesucian dapat dicapai."

MAHAKASSAPA SUTTA

MAHAKASSAPA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Suatu saat Bhagava sedang tinggal di dekat Rajagaha, di Hutan Bambu, di Tempat Pemberian Makan Tupai. Pada saat itu Yang Ariya Maha Kassapa sementara tinggal di Gua Pipphali, jatuh sakit, menderita sakit yang parah. Setelah beberapa saat Yang Ariya Maha Kassapa sembuh dari sakit, kemudian beliau berpikir, “Bagaimana jika Saya memasuki Rajagaha untuk mengumpulkan makanan?”.

SUBHUTI SUTTA

SUBHUTI SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Pada suatu ketika Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Subhuti duduk bersila tidak jauh dari Bhagava, menahan tubuhnya tegak, sesudah mencapai suatu konsentrasi yang tak terputus- putus.

Bhagava melihat Yang Ariya Subhuti duduk bersila tidak jauh dari beliau, menahan tubuhnya tegak, sesudah mencapai suatu konsentrasi yang tak terputus- putus.

Friday 11 December 2015

Bathing of the Buddha 浴佛歌

VANGISA SUTTA

VANGISA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Suatu ketika Bhagava berdiam di dekat Alavi di vihara Aggalava.

Pada saat itu, Yang Mulia Nigrodhakappa, guru pembimbing Yang Mulia Vangisa, belum lama mencapai Parinibbana di sana.

Kemudian, suatu pikiran muncul di benak YM Vangisa ketika berada di dalam meditasinya demikian, ‘Apakah guru pembimbingku telah mencapai Nibbana atau belum.’

Maka beliau bangkit dari meditasinya di petang hari, YM Vangisa datang kepada Bhagava, menghormat, kemudian duduk di satu sisi dan berkata kepada Bhagava,

KACCAYANA SUTTA

KACCAYANA SUTTA


"Demikianlah yang Ku dengar. Pada suatu ketika Bhagava sedang berada di dekat Savatthi, di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Yang Ariya Mahakaccana sedang duduk bersila tidak jauh dari Bhagava, menahan tubuhnya tegak, waspada terhadap sikap tubuh dan mantap di dalam dirinya,

Bhagava melihat Yang Ariya Mahakaccana duduk bersila tidak jauh, menahan tubuhnya, tegak, waspada terhadap sikap tubuh dan mantap di dalam dirinya.

EKAPUTTA SUTTA

EKAPUTTA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Pada suatu saat Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu anak tunggal tercinta seorang perumah tangga meninggal dunia. Kemudian sejumlah perumah tangga dengan pakaian dan rambut basah mendatangi Bhagava di tengah hari, bersujud dan duduk di satu sisi. Sementara mereka duduk di sana Bhagava berkata kepada para perumah tangga itu, “Mengapa kalian datang kemari di tengah hari, perumah tangga, dengan pakaian dan rambut basah ?”

DANDA SUTTA

DANDA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar.

Pada suatu saat Bhagava sedang tinggal di dekat Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu, di daerah antara Savatthi dan hutan Jeta, sejumlah anak laki- laki sedang memukuli seekor ular dengan tongkat. Bhagava sesudah memakai jubahNya di pagi itu dan membawa mangkok dan jubah luarNya, sedang pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan makanan, ketika beliau melihat anak- anak ini di daerah antara Savatthi dan hutan Jeta sedang memukuli seekor ular dengan sebuah tongkat.

UDENA SUTTA

UDENA SUTTA


Demikianlah yang Ku dengar,

Pada suatu ketika Bhagava sedang berada di dekat Kosambi, di Vihara Ghosita. Pada saat itu, gedung wanita di taman kerajaan Raja Udena terbakar habis, dan penghuninya yang berjumlah 500 wanita, yang diketuai oleh Samavati, meninggal dunia.

Pada suatu pagi, sejumlah bhikkhu, sesudah memakai jubahnya sebelum tengah hari, membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kosambi untuk mengumpulkan dana makanan. Sesudah berjalan di Kosambi untuk mengumpulkan dana makanan dan sesudah makan, mereka mendekati Sang Bhagava, bersujud, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Bhagava, “Bhante, gedung wanita di taman kerajaan Raja Udena terbakar habis, dan penghuninya yang berjumlah 500 wanita, yang diketuai oleh Samavati, meninggal dunia. Bagaimana keadaan para upasika itu sekarang, bagaimanakah kelahiran berikutnya dari para upasika itu?”
close