-->

Wednesday 16 November 2016

Dialog Dengan Alam Dewa (Bagian Ketujuh)

BAB VII. ZIARAH RITUAL DI LORONG KECIL


Malam itu, tgl 1 Juli 2002 saya dengan rombongan tiba di pulau Bali dalam rangka hajatan ziarah ke 3 pura. Sebelas tahun yang lalu saya dengan istri juga melakukan perjalanan ziarah di 12 pura di Pulau Bali.

Pada waktu itu kami diberitahu oleh Sanghyang Batara Wisnu di pura Ulun Danu, bahwa suatu hari nanti kami berdua akan mendapat panggilan untuk menghadap lagi kepada Sanghyang Batara Wisnu di pura Ulun Danu.


Panggilan itu baru kami terima setelah menunggu 11 tahun lamanya.

Besok paginya, tgl. 2 Juli, sesuai perintah yang saya terima, saya dan rombongan sebanyak 10 orang menuju pura Ulun Danu untuk menghadap Sanghyang Batara Wisnu.

Setelah kami mengatur semua sesajen sebagai sarana ibadah di pura, kami melakukan ritual persembahan dan doa. Kehadiran Sanghyang Batara Wisnu ditandai dengan hembusan angin yang kuat beberapa saat, dan setelah itu tidak ada lagi angin yang datang.

Masing-masing anggota rombongan mendapatkan berkah dan bekal dari Sanghyang Batara sesuai dengan kebutuhan, wadah dan misinya dalam hidup ini.

Dari pura Ulun Danu kami melanjutkan perjalanan menuju pura Besakih untuk menghadap dan bersujud kepada Sanghyang Batara Brahma.

Sesampai di kompleks pura, suasana yang sangat berbeda kami jumpai, sangat berbeda dengan 11 tahun yang lalu saat kami berkunjung.

Tempat parkir disediakan jauh dibawah, sehingga pengunjung seolah-olah dipaksa untuk naik ojek sepeda motor untuk mencapai pura, kemudian untuk memasuki kompleks pura harus diantar oleh pemandu penduduk lokal.

Semuanya ini tidak masalah bagi rombongan kami, karena niat kami memang untuk berziarah ke pura.

Waktu kami sampai di kompleks utama dan mau memasuki tempat persujudan / sembahyang, rombongan kami dilarang masuk untuk bersembahyang. Alasannya untuk masuk ketempat sembahyang harus berpakaian adat Bali. Hal ini untuk mencegah para turis asing maupun lokal agar tidak memasuki tempat sembahyang sehingga mengurangi kesakralan ibadah.

Saya terkejut mendengar aturan ini, dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa para pendeta dan para pengelola pura dapat memberlakukan peraturan seperti ini?

Apakah mereka tidak menyadari bahwa agama Hindu bukan hanya untuk orang Bali saja?

Mengapa harus dipaksa pakai pakaian adat Bali baru boleh sembahyang?

Mengapa mereka tidak mau memakai akal pikiran dan kecerdasannya untuk membedakan mana yang betul akan beribadah dan yang tidak.

Akhirnya saya berkonsentrasi untuk menghadap dan kontak kepada Sanghyang Batara Brahma, bahwa saya dan rombongan dilarang masuk tempat sembahyang untuk beribadah, apa yang harus saya lakukan?

Sanghyang Batara memberitahu bahwa saya dan rombongan akan diterima ibadahnya diluar pura, dipersilahkan untuk mengatur semua sesajen sarana ibadah di lorong kecil yang ada disamping pura.

Setelah semuanya diatur rapi, kami semua melakukan upacara ritual persujudan dilorong kecil itu.

Banyak orang yang menonton rombongan kami.

Begitu selesai berdoa, waktu saya membuka mata, saya melihat pendeta dan pembantu-pembantunya yang tadi memimpin sembahyang didalam pura sudah berada dihadapan saya, meminta ijin untuk memberikan pemberkatan air suci dan lain-lain kepada rombongan saya, dan meminta maaf telah membiarkan saya bersembahyang diluar pura.

Saya mengucapkan terima kasih atas pemberkatannya.

Rupanya berita adanya rombongan melakukan sembahyang diluar pura sudah sampai ke bawah. Sehingga waktu rombongan saya sampai dibawah, ada beberapa petugas pengelola pura yang meminta maaf pada kami atas apa yang telah kami alami.

“Tidak apa-apa, yang penting saya telah menjalankan ibadah saya dan keterima”, kata saya.

Dalam hati saya sangat salut dan memuji kejujuran orang-orang Bali, mereka cepat menyadari dan mau mengakui kehilafannya.

Dalam perjalanan menuju pura Ulu Watu, saya dalam hati bertanya-tanya, mengapa peristiwa di pura Besakih dapat terjadi?

Datang jawaban dari Sanghyang Batara Brahma, bahwa semua kejadian itu adalah kehendak beliau, untuk menyadarkan dan memperingatkan para pendeta dan para pengelola pura bahwa aturan-aturan yang dibuat itu tidak tepat.

Kami sampai di pura Ulu Watu hari telah gelap. Kehadiran kami di pura ini diterima oleh Sanghyang Batara Rudra, masing-masing mendapatkan berkah dan bekal untuk menempuh perjalanan hidup dan perjalanan spiritual.

Tgl. 3 Juli, sehari penuh kami gunakan untuk rekreasi dengan berkunjung ketempat-tempat wisata di Bali. Tgl. 4 Juli rombongan kami meninggalkan Pulau Bali, melanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta.

Penulis : Herman Utomo & Silvie Utomo
Sumber : spiritualuniversal.blogspot.com

No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

close