-->

Wednesday 29 January 2014

Semangkuk Mie

Cerita ini dibawa oleh anak gadis Ny. Hsu yang tinggal di Kao Hsiung. Anak gadisnya pulang dari Amerika pada awal Januari dengan membawa oleh-oleh sebuah sebuah kisah nyata yang menggugah hati.

Kisah ini terjadi pada malam Chu Si (malam menjelang tahun baru imlek) dan tertuang dalam lebih dari 50 halaman. Kisah ini sangat mengharukan banyak orang Jepang. Cerita ini disebut sebagai kisah “Semangkuk Mi Kuah“, yang diterjemahkan oleh Li Kuei Chuen.


Pada 31 Desember lima belas tahun yang lalu, yang juga merupakan malam Chu Si, di sebuah jalan di Kota Sapporo, Jepang, berdiri sebuah toko mi bernama “Pei Hai Thing” (Pei = utara, Hai = Laut, Thing = Kios, Toko).

Makan mi pada malam Chu Si merupakan adat turun-temurun orang Jepang. Hari itu pemasukan toko-toko mi sangatlah baik, tidak terkecuali Pei Hai Thing. Hampir sehari penuh pengunjung ramai berkunjung. Tetapi setelah pukul 22.00 tidak ada lagi pengunjung yang datang, padahal biasanya jalan sangat ramai hingga waktu subuh. Namun karena semua orang terburu-buru pulang ke rumah untuk merayakan tahun baru, maka hari itu jalan dengan cepat menjadi sepi.

Pemilik Toko Pei Hai Thing adalah seeorang yang jujur dan polos. Istrinya pun adalah seorang yang ramah dan selalu melayani orang dengan penuh kehangatan. Saat tamu terakhir pada malam Chu Si itu telah keluar dari toko mi dan sang istri pun tengah bersiap menutup toko, pintu toko terihat kembali terbuka.

Seorang wanita dengan membawa dua orang anak masuk. Ke dua anak itu berusia kira-kira 6 dan 10 tahun. Mereka mengenakan baju olahraga baru yang serupa satu dengan yang lainnya. Sementara Si Wanita memakai baju bercorak kotak yang telah usang.

“Silahkan duduk, ” Sang pemilik toko mengucapkan salam.

Wanita itu berkata dengan nada ketakutan, ” bolehkah … memesan semangkuk mi kuah ?” Ke dua anak di belakangnya saling berpandangan, tak tenang.

“Tentu … tentu boleh, silahkan duduk di sini, ” sang istri mengajak mereka ke meja nomor dua di bagian paling pinggir, lalu berteriak dengan keras ke arah dapur, “semangkuk mi kuah !”

Sebenarnya jatah mi untuk semangkuk mi kuah hanyalah satu ikat, tetapi sang pemilik toko menambahkan lagi sebanyak setengah ikat, kemudian menyiapkannya dalam sebuah mangkuk besar. Hal ini tak diketahui oleh sang istri dan ketiga tamunya itu.

Ibu dan kedua anaknya mengelilingi semangkuk mi kuah tersebut dan menikmatinya dengan lahap. Sambil makan mereka berbicara dengan suara pelan, “enak sekali!”

Si adik menyumpit mi untuk menyuapi ibunya. Dan tak lama kemudian, semangkuk mi itupun habis. Setelah membayar 150 yen, ibu dan kedua anaknya dengan serempak memuji dan menghaturkan terima kasih.

“Lezat sekali, terima kasih banyak !” kata mereka seraya membungkuk memberi hormat, lalu berjalan meninggalkan toko.

Setiap hari berlalu dengan penuh kesibukan, tak terasa setahun pun telah berlalu. Sampai pada 31 Desember ini pun usaha Pei hai Thing masih tetap ramai. Kesibukan pada malam Chu Si ini akhirnya selesai. Jam menunjukkan waktu telah lewat dari pukul 22.00. Sang istri pemilik toko tengah berjalan ke arah pintu untuk menutup toko ketika pintu itu terbuka lagi dengan pelan. Terlihat seorang wanita paruh baya melangkah masuk bersama dua orang anaknya. Ketika melihat baju bercorak kotak yang telah usang itu, seketika sang istri teringat akan tamu terakhir pada malam Chu Si tahun lalu.

” Bolehkah … membuatkan kami … semangkuk mi kuah ?”

” tentu, tentu, silahkan duduk.”

Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2–meja yang pernah mereka tempati tahun lalu–sambil berteriak dengan keras, “semangkuk mi kuah !”.

Sang suami menyahut sambil menyalakan api yang baru saja ia padamkan. Diam-diam istrinya masuk dan berbisik kepada suaminya, “masak tiga mangkuk untuk mereka, boleh tidak ?”

” Jangan, kalau seperti itu mereka bisa merasa tidak enak. “

Sambil menjawab, sang suami menambahkan setengak ikat mi ke dalam kuah yang mendidih.

Setelah dihidangkan, kembali ibu dan kedua anak itu mengelilingi mi kuah tersebut. Ketika makan, mereka berbicara yang ternyata terdengar ke telinga suami pemilik toko.

” Sangat wangi … sangat hebat … sangat nikmat !”

” Tahun ini masih bisa menikmati mi Pei Hai Thing, sangatlah baik !”.

” Alangkah baiknya jika tahun depan masih bisa datang untuk makan di sini ! “

Setelah selesai makan dan membayar 150 yen, ibu dan kedua anak itu berjalan meninggalkan Pei Hai Thing.

” Terima kasih banyak ! Selamat Tahun Baru. “

Memandang ibu dan anak yang berjalan pergi, suami istri pemilik toko berulang kali membicarakannya cukup lama.

Pada malam Chu Si tahun berikutnya, usaha Pei Hai Thing tetap berjalan dengan sangat baik. Saking sibuknya pada hari itu, sepasang suami istri itu sampai tak punya waktu untuk berbicara. Namun, setelah lewat pukul 21.30, ke dua orang itu justru mulai merasa tak tenang.

Pukul 22.00, pegawai toko telah pulang setelah menerima Hung Pao (Ang Pao). Pemilim toko dengan tergesa-gesa membalik setiap lembar daftar harga yang tergantung di dinding. Daftar kenaikan harga ” Mi Kuah 200 yen semangkuk ” sejak musim panas tahun ini, ditulis ulang menjadi 150 yen.

Di atas meja nomor 2, tiga menit yang lalu sang istri telah meletakkan kartu tanda “telah dipesan”. Sepertinya ia bermaksud menunggu tamu yang akan tiba. Setelah lewat pukul 22.00, ibu dengan dua orang anak itu akhirnya muncul kembali.

Sang kakak memakai seragam SMP, sedangkan sang adik mengenakan jaket–yang terlihat agak kebesaran–yang dipakai kakaknya tahun lalu. Kedua anak ini telah tumbuh dewasa. Sementara itu, sang ibu masih memakai baju bercorak kotak usang yang telah pudar warnanya.

” Silahkan masuk ! silahkan masuk ! ” sang istri pemilik toko menyambut dengan hangat.

Melihat istri pemilik toko yang menyambut dengan senyum hangat, ibu kedua anak itu dengan agak ketakutan berkata, ” Tolong … tolong buatkan dua mangkuk mi, bolehkah ? “

” Baik, silahkan duduk. “

Sang istri mengajak mereka ke meja nomor dua, dengan cepat menyembunyikan tanda “telah dipesan” seakan-akan tak pernah diletakkan di sana, lalu berteriak ke arah dalam, “dua mangkuk mi!”

Sambil menyahuti teriakan sang istri, sang suami melempar tiga ikat mi ke dalam kuah yang mendidih. Setelah itu, ia segera menyajikan dua mangkuk mi panas kepada tiga orang tamunya.

Ibu dan kedua anak itu terlihat sangat gembira. Sambil makan, mereka bertiga tampak sedang berbincang. Sepasang suami-istri pemilim toko berdiri di balik pintu dapur, turut merasakan kegembiraan mereka.

” Siao Chun, kakak,hari ini ibu ingin berterima kasih kepada kalian berdua. “

“Terima kasih ? Mengapa ?” tanya si anak sulung.

” Tentang kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan delapan orang terluka yang disebabkan oleh ayah kalian. Setiap bulan dalam beberapa tahun ini, uang sebesar 50,000 yen harus diserahkan untuk menutupi bagian yang tak dapat dibayar oleh pihak asuransi.”

“Ya, hal itu kami tahu, sang kakak kembali menyahut.

Istri pemilik toko terdiam mendengarkan pembicaraan itu.

“Awalnya kita harus membayar hingga Maret tahun depan, tetapi ternyata telah terlunasi pada hari ini. “

“Oh, ibu, benarkah ?”

“Ya benar. Itu karena kakak mengantar koran dengan rajin, Siao Chun membantu membeli sayur dan menank nasi sehingga ibu bisa bekerja dengan hati tenang. Perusahaan memberikan bonus istimewa kepada ibu karena tidak pernah absen kerja. Oleh karena itu, ibu dapat melunasi seluruh bagian yang tersisa.”

“Ma! Kakak! Alangkah baiknya, tetapi biarkan Siao chun tetap menyiapkan makan malam.”

“Kakak juga ingin terus mengantar koran.”

“Terima kasih, ibu sungguh berterima kasih.”

“Kami punya sebuah rahasia dan belum memberi tahu ibu, ” kata sang kakak. “Pada hari minggu di bulan November, sekolah Siao Chun menghubungi wali murid untuk hadir melihat program bimbingan belajar dari sekolah. Guru Siao Chun secara khusus menambahkan sepucuk surat, yang mengatakan karangan Siao Chun telah dipilih sebagai wakil seluruh Pei Hai Tao (Hokkaido) untuk mengikuti lomba mengarang seluruh negeri. Hari itu aku mewakili ibu untuk menghadirinya.”

“Benarkah? Lalu?” tanya sang ibu.

“Tema yang diberikan guru adalah ‘Cita-citaku (Wo Te Ce Yuen)’. Dengan karangan bertema semangkuk mi kuah, Siao Chun diminta membacanya di hadapan para hadirin.

“Isi karangan itu menceritakan bahwa ayah mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggalkan utang yang banyak. Untuk membayar utang, ibu harus bekerja keras dari pagi hingga malam. Aku yang harus mengantar koran juga ditulis oleh Siao Chun.

“Lalu, pada 31 Desember, kita bertiga bersama-sama makan semangkuk mi kuah yang rasanya sangat lezat. Tiga orang hanya memesan semangkuk mi kuah. Sang pemilik toko, yaitu paman dan istrinya, malah mengucapkan terima kasih dan selamat tahun baru kepada kami ! Suara itu seperti sedang memberikan dorongan semangat untuk kami agar tegar menjalani hidup, untuk secepatnya melunasi hutang ayah.

“Oleh karena itu, Siao Chun memutuskan untuk membuka toko mi setelah dewasa nanti. Ia ingin menjadi pemilik toko mi nomor satu di Jepang, juga ingin memberikan dorongan semangat kepada setiap pengunjung. “Semoga kalian berbahagia ! Terima kasih !”

Pasangan suami istri yang sebelumnya berdiri di balik pintu dapur dan mendengarkan pembicaraan mereka kini tampak berjongkok dengan selembar handuk di tangan mereka–berusaha keras menghapus air mata yang tak henti mengalir.

“Selesai membaca karangan itu, Guru berkata, “kakak Siao Chun telah mewakili ibunya datang ke sini. Silahkan naik ke panggung untuk menyampaikan beberapa patah kata.”

“Sungguhkah? lalu kamu bagaimana ?” tanya sang ibu

“Karena sangat mendadak, awalnya aku tidak tahu harus mengucapkan apa. Aku lantas mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas perhatian dan kasih sayang terhadap Siao Chun, yang setiap hari harus membeli sayur dan menyiapkan makan malam. Dia juga sering kali harus terburu-buru pulang dari kegiatan berkelompok, yang tentu mendatangkan banyak kesulitan bagi semua orang. Dan saat dia membacakan karangan semangkuk mi kuah, aku sempat merasa malu. Tetapi melihat Siao Chun dengan dada tegap dan suara yang lantang menyelesaikan membaca karangan itu, rasa malu itulah yang malah jadi memalukan.

“Beberapa tahun ini, keberanian ibu yang hanya memesan semangkuk mi kuah, tidak akan pernah kami lupakan. Kami berdua pasti akan giat dan rajin, merawat ibu dengan baik. Dan selanjutnya, aku meminta kepada para hadirin untuk tetap memperhatikan Siao Chun, hari itu dan seterusnya.”

Ketiga orang itu kemudian saling menggenggam tangan dengan erat, saling menepuk bahu, menikmati mi tahun baru dengan perasaan yang lebih bahagia dibandingkan tahun sebelumnya. Setelah selesai, sang ibu membayar 300 yen dan mengucapkan terima kasih. Ia kemudian memberi hormat kepada pemilik toko dan meninggalkan toko mi bersama kedua anaknya.

Sang pemilik toko, seakan-akan sedang menutup tahun yang lama, dengan suara yang keras mengucapkan, “Terima kasih ! Selamat Tahun Baru !”

Setahun pun berlalu. Pemilik toko mi Pei Hai Thing kembali meletakkan tanda “telah dipesan” di meja nomor dua dan menunggu. Namun, ibu dan kedua anak itu tidak muncul. Tahun kedua, tahun ketiga, meja nomor dua tetap kosong–ketiga orang itu tetap tidak muncul.

Seiring berjalannya waktu, usaha Pei Hai Thing semakin berkembang. Toko itu pun telah direnovasi. Meja dan kursinya telah diganti dengan yang baru. Namun, meja nomor dua itu masih tetap seperti semula.

Banyak tamu yang datang ke toko mi itu merasa heran. Sang istri pemilik toko kemudian menceritakan kisah semangkuk mi kuah itu kepada para pengunjung. Selanjutnya, meja nomor dua itu, menjadi “meja keberuntungan”. Setiap pengunjung kemudian menyampaikan kisah ini kepada orang lain. Banyak pelajar yang merasa ingin tahu dan datang dari jauh demi melihat meja tersebut dan menikmati mi kuah. Semua orang umumnya ingin duduk di meja tersebut.

Dan beberapa tahun ini, setelah melewati malam Chu Si, para pemilik toko di sekitar Pei Hai Thing akan mengajak keluarganya menikmati mi di Pei Hai Thing setelah menutup toko pada malam Chu Si. Sebanyak 30 hingga 40 orang sering berkumpul hingga toko itu menjadi sangat ramai. Itu biasa terjadi dalam 5-6 tahun terakhir ini. Semua orang telah mengetahui kisah meja nomor dua itu. Meski mulut tidak berbicara, tetapi dalam hati mereka berpikir, “meja yang telah dipesan pada malam Chu Si, tahun ini mungkin sekali lagi akan menjadi meja dan kursi kosong menyambut datangnya tahun baru.”

Hari itu, semua orang kembali berkumpul pada malam Chu Si. Ada orang yang makan mi, ada yang minum arak. Semuanya berkumpul seperti sebuah keluarga. Setelah lewat pukul 22.00, pintu tiba-tiba kembali terbuka. Semua orang yang berdiri di dalam segera menghentikan pembicaraan. Seluruh pandangan mata tertuju ke arah pintu yang terbuka itu.

Dua orang remaja yang berstelan jas yang rapi dengan baju luar di tangan, melangkah masuk. Saat sang istri pemilik toko hendak mengatakan bahw meja telah penuh, seorang wanita berkimono berjalan masuk, berdiri di antara kedua remaja tersebut. Semua orang yang berada di dalam toko menahan nafas mendengar wnita berkimono tersebut perlahan mengatakan, “tolong … tolong … mi kuah … untuk tiga orang, bolehkah ?”

Belasan tahun telah berlalu, sang istri pemilik toko seketika mengingat kembali gambaran ibu muda dengan dua orang anaknya itu. Sang suami di balik pintu dapur pun termenung. Salah seorang anak di antara ibu dan anak tersebut menatap sang istri yang tengah salah tingkah dan mengatakan, “kami bertiga, 14 tahun yang lalu pernah memesan semangkuk mi kuah di malam Chu Si, dan kami mendapatkan dorongan semangat dari emangkuk mi tersebut. Hingga kami bertigapun dapat menjalani hidup dengan tegar.

“Lalu kami pindah ke kabupaten (Ce He) untuk tinggal di rumah nenek. Saya telah melewati ujian jurusan kedokteran dan praktek di Rumah Sakit Universitas Kyoto bagian penyakit anak. Bulan April tahun depan, saya akan praktek di Rumah Sakit Kota Sapporo.

“Sesuai dengan tatakrama, kami datang mengunjungi rumah sakit itu terlebih dahulu, sekalian sembahyang di makam ayah. Setelah berbicara dengan adik saya, yang pernah bepikir untuk menjadi pemilik toko mi nomor satu tetapi belum tercapai, dan sekarang bekerja di bank Kyoto, punya rencana istimewa, yaitu pada malam Chu Si tahun ini kami bertiga akan mengunjungi Pei Hai Thing di Sapporo, memesan tiga mangkuk mi kuah Pei Hai Thing. “

Sang istri pemilik toko yang telah berhasil mengingat kembali kisah belasan tahun lalu itu, memepuk bahu sang suami sambil berkata, “Selamat datang! Silahkan … Ei! Meja nomor dua, tiga mangkuk mi kuah!"

No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

close