-->

Monday 19 October 2015

Y.A Mahabhikkhu Ashin Jinarakkhita Mahathera

bodhi-prajna.blogspot.com
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, terlahir The Boan An, juga dikenal dengan panggilan Su Kong merupakan orang Indonesia pertama yang ditahbiskan menjadi bhikkhu setelah 500 tahun runtuhnya kerajaan Majapahit saat ia ditahbiskan pada tahun 1953. Dia merupakan salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Buddhis di Indonesia modern. Selain mempelajari kimia di Groningen, Belanda dia juga mendalami agama Buddha. Pada Juni 1953 ia ditahbiskan dalam tradisi Mahayana di Jakarta. Pembimbingnya menganjurkan agar ia belajar lebih lanjut di Myanmar, karena itu pada tahun yang sama ia masuk Sasana Yeiktha di Yangon untuk belajar meditasi satipatthana di bawah bimbingan Mahasi Sayadaw. Pada tahun berikutnya ia ditahbiskan menjadi bhikkhu dan mengambil nama Ashin Jinarakkhita. Pada tahun 1955 ia kembali ke Jawa dan dengan kerja keras membangun kembali vihara-vihara dan biara-biara Buddhis.

Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira, yang lahir di kota Bogor, 23 Januari 1923, wafat 18 April 2002  di Rumah Sakit Pluit Jakarta dalam usia 80 tahun,disemayamkan di Vihara Ekayana Jl. Mangga II, Tanjung Duren, Jakarta barat, diperabukan di krematorium Yayasan Bodhisattva, Lempasing, Bandar Lampung.

Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira dengan nama The Boan An, bagaikan mengikuti perjalanan waktu menelusuri sejarah perkembangan agama Buddha di Indonesia. Sang PELOPOR KEBANGKITAN AGAMA BUDDHA di INDONESIA, itulah julukan yang disandangnya.

Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira diusulkan Penerima Anugerah Bintang Maha Putra oleh Menteri Agama, Prof Dr Said Agil Al Munawar.

Abu jenazah Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira dibawa pulang ke tanah Jawa dan disemayamkan di Vihara Sakyawanaram Pacet, Jawa Barat, tempat selama ini Bhante Ashin bermukim. Di sana pula akan dibangun sebuah Aula yang akan diberi nama Ashin Jinarakkhita Graha oleh Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).


bodhi-prajna.blogspot.com

bodhi-prajna.blogspot.com

Masa Kecil

The Boan An merupakan anak ketiga dari pasangan The Hong Gie dan Tan Sep Moy. Ayah Boan An, merupakan seorang wykmesster, atau semacam lurah untuk masa kini, sehingga di rumah Boan An sewaktu kecil sering kali didatangi oleh banyak orang untuk mengurusi berbagai surat-surat penting. Namun sayangnya, pada saat ia berumur 2 tahun, ibunya meninggal dunia, dan kemudian ayahnya menikahi adik dari Tan Sep Moy, yaitu Sep Nyie Moy yang menjadi ibu tiri untuk si kecil Boan An.

Pada saat duduk di sekolah dasar di HCS, Boan An tidak mendapatkan uang jajan dari orangtuanya sehingga ia bekerja sambilan untuk memperoleh uang jajan. Ia menjadi tukang tagih utang untuk seorang dokter, dan mendapat persenan dari hasil tagihan tersebut. Meskipun demikian, Boan An bukanlah orang yang kasar, namun pemurah dan berhati lurus. Ia sering membagi-bagikan uang jajannya kepada teman-temannya yang lain dan sangat tidak suka mencuri barang orang lain. Pernah suatu hari, teman dekatnya, Anyi berniat untuk mencuri buah jambu dan dihentikan oleh Boan An dan mengatakan bahwa lebih baik ia memintanya daripada mencuri.


Boan An juga memiliki sifat yang keras, jika ia tidak maka tidak, jika mau maka mau. Akibat sifatnya ini ia pernah bertengkar dengan ayahnya sehingga ia berusaha untuk kabur dari rumahnya untuk pergi ke tempaat neneknya. Setelah seharian berusaha ketempat neneknya, akhirnya ayahnya berusaha mencarinya dan menemukannya di rumah salah seorang yang memberinya tempat menginap untuk sementara.

bodhi-prajna.blogspot.com
Ketertarikan pada Spiritualisme

Setelah lulus dari HCS ia ingin melanjutkan pendidikannya di HBS, setara dengan SMA untuk masa itu, namun karena terlambat mendaftar akhirnya ia bersekolah di PHS selama satu tahun pada 1936, dan setelah itu baru ia mendaftar kembali untuk belajar di HBS tahun berikutnya. Pada saat itu, ia sudah mulai tertarik dengan ilmu-ilmu gaib dan yoga. Ia sering bercerita banyak sekali tentang yoga kepada teman-temannya. "Yoga. Yoga itu membela kamu punya jiwa, Kamu gak akan ngaco pikirannya. Kalau kagi banyak pikiran, nolkan lagi, sudah nol boleh mikir lagi.” Pada saat itu juga ia berkenalan dengan seorang Belanda yang katanya dapat melihat makhluk halus bernama Reigh. Oleh Reigh ini, Boan An belajar mengenai magnetism untuk penyembuhan dan juga okultisme. Ketertarikan Boan An mengenai hal-hal spiritual ini membuat ayahnya merasa khawatir akan pendidikan anaknya di sekolah. Akhirnya ayahnya mengajak Boan An ke tempat kakeknya. Ternyata kakek Boan An yang merupakan vegetarian, membuat Boan An ikut menjadi vegetarian yang membuat marah ayahnya.

Setelah lulus dari HBS pada tahun 1941, Boan An melanjutkan pendidikannya di HCS jurusan ilmu pasti alam (sekarang ITB). Namun, setelah Jepang menduduki Indonesia, semua perkuliahan dihentikan, akibatnya Boan An pun pulang kembali ke rumahnya di Bogor. Di Bogor ia membantu di dapur umum yang didirikan untuk membantu orang-orang yang kesulitan mendapat makanan pada masa tersebut. Selain itu, ia juga rajin bermeditasi dan bertukan pikiran dengan tokoh-tokoh spiritual yang ada. Akhirnya, ia berkenalan dengan orang-orang dari perkumpulan Theosofi dan mulai memperdalam minatnya di bidang spiritual.

Pada tahun 1946, ayah Boan An merasa bahwa anaknya harus melanjutkan kembali pendidikannya yang tertunda. Boan An akhirnya melanjutkan pendidikannya di Groningen, Belanda di Universiteit Groningen, Fakulteit Wis en Natuurkunde jurusan ilmu Kimia. Di Belanda ia mulai aktif dalam organisasi Theosofi dan juga mulai memperdalam ilmu filsafat. Ia juga membantu dalam bidang social, yaitu sewaktu Dam Wicheren bocor, ia menjadi sukarelawan di sana. Setelah tahun keempatnya di negeri Kincir tersebut, ia menuliskan surat kepada temannya bahwa tidak ingin meneruskan pendidikan ilmu kimianya dan ingin memusatkan perhatiannya dalam penyebaran agama Buddha. Akhirnya, setelah 5 tahun berada di negeri orang, Boan An pun kembali ke Indonesia.

Pada tahun 1951, Boan An kembali lagi ke Indonesia. Dia pun menjadi salah satu pendiri Gabungan Sam Kauw Indonesia, dimana perkumpulan ini mencoba untuk melestarikan kebudayaan Buddhisme, Konfusius, dan Taoisme di Indonesia, dimana ia diangkat menjadi ketuanya. Ia juga menjadi wakil ketua pengurus pusat Pemuda Theosofi di Indonesia. Salah satu usahanya dalam melestarikan agama Buddha di Indonesia ialah mengadakan perayaan Waisak secara nasional untuk pertama kalinya dalam beratus-ratus tahun di candi Borobudur pada tanggal 23 Mei 1935.

Ketertarikan Boan An pada ajaran Buddha membuat ia sering mengunjungi kelenteng Kong Hoa Sie yang berada di Jakarta. Disana ia sering belajar dari mahabhikkhu Y.A. Sanghanata Aryamulya Pen Cing, yang menjadi guru Mahayana untuk Boan An. Ia pun ditahbiskan menjadi sramanera dengan nama Ti Chen. Keinginan sramanera Ti Chen untuk memperdalam lagi ajaran Buddha dengan berangkat ke Tiongkok pada saat itu sulit terpenuhi karena pada masa tersebut tidak adanya hubungan diplomatik. Pada saat tersebut, terdengar kabar bahwa ayah sramanera Ti Chen mengalami sakit keras dan berobat di Jakarta. The Hong Gie pun meminta agar ia dapat bertemu dengan anaknya, dan ia pun meninggal di dalam pelukan sramanera Ti Chen.

Dalam usaha Ti Chen untuk memperdalam ajaran Buddha, ia berusaha untuk menghubungi beberapa kedutaan agar dapat belajar di Sri Lanka, namun rupanya hal tersebut kurang mendapat perhatian dari kedutaan Sri Lanka, hingga akhirnya ia menghubungi kedutaan Burma dan mendapat persetujuan untuk berangkat ke Burma untuk mendalami ajaran Buddha. Pada akhir bulan Desember 1953, sramanera Ti Chen pun berangkat menuju Burma.

Di Burma ia berlatih meditasi di pusat pelatihan meditasi, Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Kemajuan yang dialaminya sangat pesat sehingga mencengangkan banyak orang. Ia pun disana mendapat bimbingan khusus dari bhikkhu Nyanuttara Sayadaw. Akhirnya, pada tanggal 23 januari 1954, Ti Chen ditahbiskan kembali menjadi samanera dalam tradisi Theravada. Ia pun mendapatkan nama Jinarakkhita dari Bhante Mahasi Sayadaw dan diberi gelar Ashin. Maka ia pun menjadi orang Indonesia pertama yang ditahbiskan menjadi bhikkhu setelah keruntuhan kerajaan Majapahit. Ini merupakan salah satu lompatan besar dalam perkembangan Buddhisme di Indonesia. Setelah itu, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita pun kembali ke Indonesia pada 17 Januari 1955.

Salah satu karya besar yang ditinggalkan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita ialah paham Buddhayana di Indonesia. Dimana ia melihat bahwa seharusnya ajaran Buddha tidak terbagi-bagi dalam sekte-sekte yang berbeda. Apalagi melihat histori dirinya yang pernah diajar dibawah bimbingan guru dari aliran Mahayana dan juga Theravada. Selain itu juga Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memperkenalkan Sanghyang Adi Buddha sebagai konsep “Ketuhanan” dalam agama Buddha sehingga agama Buddha diakui secara sah oleh negara Republik Indonesia.

Ketika menjadi Anagarika , ia mencetuskan ide brelian untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan. Upacara ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan. Inilah satu momen penting tanda kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Masyarakat mulai meyadari bahwa agama Buddha dan penganutnya masih ada di Indonesia.Setelah itu, ia melanjutkan studinya mengenai agama Buddha baik di dalam maupun luar negri.

Pada tanggal 17 Januari 1955 ia pulang ke Indonesia setelah mendalami Dhamma di Burma. Selama beberapa bulan ia menjalani vipassana di Pusat Latihan Meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Dalam waktu kurang dari sebulan, ia mendapat kemajuan yang amat pesat. Ashin Jinarakkhita mendapat bimbingan khusus dari Y.A. U Nyanuttara Sayadaw. Pada tanggal 23 Januari 1954 Sramanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang sramanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya (Upajjhaya). Gurunya pula yang memberi nama Jinarakkhita. Kata Ashin sendiri merupakan gelar yang diterimanya sebagai seorang bhikkhu yang patut dihormati secara khusus. Ashin Jinarakkhita tinggal di Burma selama beberapa saat untuk lebih mendalami Dharma dan meditasinya Kembalinya ia ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi simpatisan Buddhis di Indonesia. Ashin Jinarakkhita adalah putra pertama Indonesia yang menjadi bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta ia tidak berdiam diri. Ashin Jinarakkhita segera merencanakan untuk mengadakan tour Dharma ke berbagai daerah di Indonesia.

Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah air. Ashin Jinarakkhita memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu ia mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya, tidak peduli di kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil. Kunjungan ia memberi arti tersendiri bagai umat Buddha Indonesia di berbagai daerah yang baru pertama kali melihat sosok seorang bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa saja. Bali, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga ia kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut diseberangi, untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada siapa saja yang membutuhkannya.

Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa bodoh terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak dulu ada di Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan zaman dan lingkungan. Ashin Jinarakkhita menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha tidak dapat lepas dari upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ashin Jinarakkhita mendorong umatnya untuk terus menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di Indonesia. Karena bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa bangsa kita pada zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri.

Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid ia yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955 di Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.

Salah satu muridnya yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah jumlah bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin kemudian mendirikan Sangha Suci Indonesia. Pada tahun 1963, organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang sebenarnya adalah muridnya sendiri, yang menganggap bahwa hanya ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha THeravada Indonesia.

Tahun 1978, muridnya yang lebih berorientasi ke aliran Mahayana, memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana Indoneisa. Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin ia terdapat persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha Theravada), para Bhiksu (Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha Tantrayana), dan para Bhiksuni (Sangha Wanita). Semua bersatu dalam kendaraan Buddha (Buddhayana). Memang pengetahuannya yang luas mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha memungkinkannya untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.

bodhi-prajna.blogspot.com
Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsep Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno dalam Kitab Sanghyang Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis Indonesia kala itu, yang merupakan murid-murid Bhante Ashin, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang sejak saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, di antaranya Alm Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro Dharmaviriya, Dicky Soemani, Karbono, dan sebagainya. Di kemudian hari beberapa di antara mereka mempertanyakan dokrin Sanghyang Adi Buddha ini.

Sebagai seorang bhikkhu, ia tidak hanya dikenal oleh umat Buddha di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, ia mendapat julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena kegesitan ia untuk ‘terbang’ dari satu tempat ke tempat lain untuk membabarkan Dharma. Ashin Jinarakkhita juga beberapa kali mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Di antaranya Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 1954-1956, juga konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists. Ashin Jinarakkhita juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist Sangha Council dan The World Buddhist Social Services.

PERJALANAN Y.M ASHIN JINARAKKHITA

bodhi-prajna.blogspot.combodhi-prajna.blogspot.com
Anagarika The Boan An, semasa menjadi Anagarika ini, beliau sudah aktif menyebarkan agama Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan Teosofi dan Tiga Ajaran.


bodhi-prajna.blogspot.com
Konferensi Pers Waisak Nasional Pertama. Ketika menjadi Anagarika ini, beliau mencetuskan ide berlian untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan.


bodhi-prajna.blogspot.com
Jakarta, Juli 1953 bertempat di Wihara Kong Hua Sie(skr W.Vaipulya Sasana) beliau ditahbiskan menjadi seorang samanera dengan nama Ti Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana(cha’n) di bawah bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang)-tengah.


bodhi-prajna.blogspot.com
Myanmar, 23 Januari 1 954 Samanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang samanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya (Upajjhaya).


bodhi-prajna.blogspot.com

bodhi-prajna.blogspot.com
Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada Pada hari Asadha 2499 atau 4 Juli 1955 di Wihara Buddha Gaya Watugong- Ungaran,  Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.


bodhi-prajna.blogspot.com

bodhi-prajna.blogspot.com
 Di tahun 1956 umat Buddha sedunia merayakan Buddha Jayanti, genapnya masa 2,500 tahun perjalanan sejarah agama Buddha terhitung sejak Buddha Gotama wafat. Selama ini beredar ramalan yang menyatakan bahwa setelah 2,500 tahun agama Budha akan lenyap, atau sebaliknya akan berkembang kembali. Melalui perayaan ini tersirat harapan agama Buddha bangkit di zaman modern. Di Indonesia perayaan Buddha Jayanti ditandai semangat kebangkitan kembali agama Buddha yang pernah terkubur di bawah reruntuhan kerayaan Majapahit.


bodhi-prajna.blogspot.com
Penahbisan Bhikkhu
Tahun 1959 Biku Ashin Jinarakkhita mengundang 13 bhikkhu dari luar negeri, yaitu Y.A. Mahasi Sayadaw dari Myanmar, Y.A. Mahathera Narada dan 6 bhikkhu lain dari Sri Lanka, 3 bhikkhu dari Thailand, dan 2 bhikkhu dari Kamboja.

Indonesia membutuhkan banyak bhikkhu. Menurut Vinaya atau peraturan Sanggha, penahbisan bhikkhu, yaitu upasampada dapat dilakukan dengan syarat paling kurang dihadiri oleh 5 bhikkhu senior. Ketika itu yang ditahbiskan adalah Ong Tiang Biauw yang kemudian diberi nama Jinaputta. Ia adalah pendiri sekolah Buddhis yang pertama di Indonesia. Sekolah yang terletak di Jakarta ini asalnya Batavia English School (1931), pernah ditutup pada zaman penjajahan Jepang, kemudian dibuka kembali dengan nama Sin Hwa English School (1945), dan terakhir menjadi Sekolah Sariputra pada tahun 1955.

Sebelum menjadi bhikkhu, Tee Boan An pernah juga mengajar di sekolah ini. Sekolah Sariputra memiliki sebuah vihara, tempat ibadah Buddhis pertama di Jakarta yang tidak bercorak klenteng. Di sana pada tanggal 17 Mei 1959 Ong ditahbiskan menjadi samanera dan selanjutnya 5 hari kemudian ditahbiskan menjadi bhikkhu di Watugong, Jawa Tengah. Bersamaan dengan itu ditahbiskan pula Ktut Tangkas dari Singaraja  dan Ki Sontomihardjo dari Banyumas menjadi samanera. Tahun-tahun selanjutnya calon-calon bhikkhu dan bhiksuni dikirim untuk ditahbiskan di luar negeri.


bodhi-prajna.blogspot.com
Vihara Vimala Dharma-Bandung 1959, Mengundang gurunya Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera/Mahasi Sayadaw ke Indonesia.


 bodhi-prajna.blogspot.com
Bandung, 1959 Mengundang bhikkhu Narada ke Indonesia untuk acara penahbisan bhikkhu di Indonesia.


bodhi-prajna.blogspot.com
Singaraja-Bali, November 1960.


bodhi-prajna.blogspot.com
Bengkulu Maret 1960, Sayadaw Ashin Jinarakkhita memulai pembabaran Buddha Dharma di Pulau Sumatera


bodhi-prajna.blogspot.com
Ashin Jinarakkhita Bersama Romo Kumarasamy, Medan 1960.


bodhi-prajna.blogspot.com
Palembang April 1960, Buddha Dharma mulai bergema lagi di Palembang sekian lama setelah jatuhnya kedatuan Sriwijaya.


bodhi-prajna.blogspot.com
Pandita Dharmarutji Ida Bagus Giri murid dari Bhante Ashin Jinarakkhita yang kelak menjadi Biksu Girirakkhita tampak jongkok di sebelah kiri, Yoga Murti jongkok di sebelah kanan, saat menemani guru mereka, Bhante Ashin Jinarakkhita membangkitkan kembali agama Buddha di Palembang. Kontributor foto: Budiarsa Dharmatanna.


bodhi-prajna.blogspot.com
Palembang , Dua tahun kemudian Vihara Dharmakirti berdiri dan diresmikan Sayadaw Ashin Jinarakkhita pada 8 Juli 1962.


bodhi-prajna.blogspot.com
Padang 1962, Yang Mulia Ashin Jinarakkhita dibantu murid yang dikasihinya Samanera Giri (kemudian dikenal dengan B.Girirakkhito) mulai memperkenalkan Buddha Dharma di kota Padang.


bodhi-prajna.blogspot.com

bodhi-prajna.blogspot.com
Wihara Sakyakirti Jambi



bodhi-prajna.blogspot.com
Mengundang DharmaDuta Thailand
Bandung 1969. Untuk kepentingan pengembangan Buddha Dharma di tanah air, atas Undangan Ashin Jinarakkhita Mahathera dari Maha Sangha Indonesia, tibalah rombongan bhikkhu dari Thailand di Indonesia.
Keterangan foto: Di barisan depan kiri ke kanan: Kepala Vihara Wat Bovoranives Bangkok Bhikkhu Chao Kun Sasana Sobhana, Wakil Kepala Vihara Wat Bovoranives Chao Kun Dhamma, Ketua Maha Sangha Indonesia Bhikkhu Ashin Jinarakkkhita, Bhikkhu Khantipalo dari Inggris.
Beberapa tahun kemudian Bhikkhu Chao Kun Sasana Sobhana yang menjadi guru agama Raja Thailand, diangkat menjadi Sangharaja Kerajaan Thailand.


bodhi-prajna.blogspot.com
Cipanas 1969.


bodhi-prajna.blogspot.com
Bandung 1969, Bhante Ashin Jinarakkhita bersama 4 Dharmaduta Thailand yang diundang beliau. Keempat orang Dhammaduta dari Thailand ini diharapkan membantu mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich yang kemudian memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn(yang juga akrab di panggil bhante Vin), Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya, Ven. Phra Maha Prataen Khemadas, dan Ven. Phara Maha Sujib Khemacharo.

Tiga dari keempat Dhammaduta itu hanya tinggal beberapa bulan di Indonesia. Tapi Dhammaduta yang ke-4, Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich yang kemudian memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn(yang juga akrab di panggil bhante Vin), menetap di Indonesia selama beberapa tahun. Setelah itu masih bolak-balik ke Indonesia, sampai meninggal beberapa tahun lalu.


bodhi-prajna.blogspot.com
Ashin Jinarakkhita menjamu Dharmaduta Dhammayut di Wihara Dharmakirti Palembang, kontributor foto: Romo Budiarsi.

bodhi-prajna.blogspot.com
Dharmaduta Dhammayut yang diundang Ashin Jinarakkhita diajak keliling Indonesia, foto saat mereka diajak berkunjung ke Wihara Dharmakirti Palembang, kontribusi foto:Budiarsa Dharmatanna.


Penahbisan Bhikkhu

Dengan bantuan Dharma Duta Thailand ini, tahun 1970 bersamaan perayaan waisak di Borobudur diadakan penahbisan bhikkhu. Yang Mulia Ashin Jinarakkhita menyerahkan murid-murinya yang masih samanera  mengambil sisilah Dhammayuttika dari Kepala Vihara Wat Bovoranives Bangkok Bhikkhu Chao Kun Sasana Sobhana (sekarang Sangharaja Thailand). 5 orang Bhikkhu yang ditahbis adalah: B.Aggajinamitto, B.Uggadhammo, B. Jinadhammo, B. Sirivijayo (lepas jubah), B.Saccamano (lepas jubah).


Karena Bhikkhu Chao Kun Sasana Sobhana harus kembali ke Bangkok, pembimbingan Bhikkhu-Bhikkhu muda ini diserahkan pada Bhante Vidhurdhammabhorn (bhante Vin) yang kemudian  sering berada di Indonesia.

bodhi-prajna.blogspot.com
Bersama murid-murid yang dikasihinya, Bhikkhu Agga Jinamitto dan Bhikkhu Girirakkhito

bodhi-prajna.blogspot.com
Bersama murid yang dikasihinya B.Jinapiya (sekarang B.Thitaketuko).


bodhi-prajna.blogspot.com
Cipendawa 1982, Sederhana dan bersahaja saat menjamu Thrangu Rinpoche. Sederhana, teladan hidup Yang Mulia Ashin Jinarakkhita.

bodhi-prajna.blogspot.com
Menado 1981

bodhi-prajna.blogspot.com
Wihara Bahtrasasana, Tanjung Pinang 1975


bodhi-prajna.blogspot.com
1994, Petapa Gunung Gede, Cipendawa Sayadaw

bodhi-prajna.blogspot.com
Sisa Perabuan Ashin Jinarakkhita berupa relik warna-warni berkilau. Kepercayaan Masyarakat Myanmar tempat beliau ditabhis menjadi bhikkhu Theravada dan Umat Buddha umumnya, jika memiliki relik setelah perabuan, sudah pasti beliau adalah Arahanta.


No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

close